Rabu, 11 Maret 2015

Bahasa, Sastra, dan Posisi Tradisi




Radar Banten, 12 Maret 2015

Kerja dan ikhtiar sastra, atau pun eksperimen penulisan, seperti yang telah kita maphumi, adalah ikhtiar dan pergulatan untuk mengolah bahasa yang merupakan bahan mentah sastra itu sendiri, semisal upaya mencipta diksi dan retorika ketika kita menulis sajak, tak ubahnya seorang petani yang mengolah ladang dan sawahnya untuk mendapatkan hasil yang baik dan bagus, di mana suatu kebaruan dan keunikan akan diperlihatkan oleh sebuah karya, entah puisi atau pun prosa –sebab acapkali yang membuat sastra menjadi bagus adalah karena kemahiran literer yang ditunjukkan oleh karya sastra itu sendiri dan upaya untuk menemukan kemungkinan bahasa dan narasi itu sendiri, di saat para penulis masih menggarap isu dan tema yang sama dengan para pendahulu mereka.

Misalnya, apakah sebuah karya menawarkan suatu bentuk pengucapan atau penuturan dan pengucapan tertulis, meski belum jauh berbeda dengan puisi-puisi atau prosa-prosa sebelumnya, tetaplah mampu memberikan sedikit sentuhan dan kenakalan.

Memang, tak jarang, kreativitas mesti mendobrak kemapanan bahasa atau pun mainstream tuturan dari tradisi atau pun kebiasaan sebelumnya. Sebutlah sebagai contohnya, ikhtiar itu dengan tuturan puitis sebuah prosa, yang bercerita lewat imaji dan citra-citra pinjaman untuk menyiratkan sesuatu yang hendak disampaikan, atau cukup dengan jalan sederhana saja semisal dengan jalan verbalisme yang nakal namun berpetualang, yang dengan itu semua proses pembacaan sebuah karya sanggup membangkitkan sebentuk orgasme literer.

Contoh lainnya adalah semisal ketika kita membaca karya-karyanya Dostoievsky yang membuat kita tergoda untuk menelusuri dan menerka dunia yang tengah ditebarkannya kepada kita, bak ketak-usaian Alfu Layla Wa Layla, karena suasana dari efek penulisan prosa-prosanya yang menghadirkan keragaman sekaligus teka-teki dunia ala novel-novel detektif. Dalam Crime and Punishment itu, misalnya, kita sebenarnya tidak pernah tahu secara jelas alasan kejahatan Raskolnikov. Apakah karena kemiskinannya? Apakah karena kebenciannya terhadap tingkah-polah masyarakat rente? Kita tak tahu mana muasal dan akibat, karena yang tersisa adalah kesamaran yang memberi kita kesempatan untuk memikirkan sendiri. Dan itulah mungkin yang akan kita sebut sebagai efek musikal sebuah karya sastra yang tak menghendaki dirinya menjelma sebuah saintisme-bahasa, tetapi lebih sebagai kebijaksanaan penuturan dan penceritaan.

Model yang sama juga dapat kita rasakan dalam beberapa prosa Akutagawa, seperti prosa Di Hutan Belukar-nya yang menawarkan kepada kita ragam versi kesaksian atas kejahatan yang sama-sama menawarkan anti-tesis bagi setiap usaha saintisme bahasa. Seperti kita tahu, dalam salah-satu prosanya itu, Akutagawa rupa-rupannya hendak menyentil dan mempermainkan perspektif pembaca, atau kita, dalam memahami dan memandang sebuah kejahatan agar tidak terlalu terburu-buru menuduhnya.

Begitulah, dalam sebuah perbincangan akrab yang mengambil tema Seputar Intelegensi dan Kecerdasan Insani, Daisaku Ikeda bertanya kepada Arnold Toynbee: “Apa yang bisa dilakukan sebuah karya sastra bagi kaum papa?”. Pertanyaan itu, sebagaimana diakui oleh Daisaku Ikeda, memang dipinjam dari Jean-Paul Sastre. Segera saja, Toynbee menanggapi bahwa adalah sesuatu yang akan sangat keliru bila memaksakan kesusastraan menjelmakan dirinya sebagai fungsi sains, karena karya sastra, lanjut Toynbee, lebih sering berfungsi sebagai pengguggah jiwa dan kesadaran. Toynbee mencontohkannya dengan dampak novel-novelnya Tolstoy dan Dostoievsky yang telah membangkitkan rasa iba-hati dan tanggungjawab dalam rangka menciptakan solidaritas-humanis, yang pada akhirnya menggerakkan kesadaran masyarakat untuk saling-membantu dan merubah nasib mereka.

Seperti juga Heidegger ketika membincang puisi, sastra bagi Toynbee kadang-kadang malah menciptakan pilar baru atau wawasan dan kuriositas bagi ilmu pengetahuan, intelegensi, dan kecerdasan insani. Jika demikian, “realisme kesusasteraan” tentulah bukan berarti sebuah usaha dan upaya “menjinakkan” kosmologi kesusasteraan hanya sekedar sebagai “fungsi sosiologis” semata. Dapatlah dikatakan, kesusasteraan tidak menghendaki hanya menampilkan data-data survey, tapi lebih mencerminkan sebuah ikhtiar alegoris dan kiasan untuk mencipta “wawasan”. Kadang-kadang, karena garisnya ini, “kesusasteraan” tak jarang mendekati fungsi yang agak “profetik”.

Dan demi mengimbangi perbincangan itu, Daisaku Ikeda kemudian menambahkan bahwa memang, spirit dan rasa bebas yang didasarkan pada panggilan jiwa kreatif-lah yang menjadi “pilar” dunia kesenian dan kesusasteraan. Sebab acapkali, demikian Daisaku Ikeda menambahkan dalam dialognya yang amat bernas dengan Arnold Toynbee pada sesi tentang “pentingnya kecerdasan itu”, kesusasteraan yang secara sengaja meniatkan menjelmakan dirinya memiliki tujuan sosial atau fungsi realis malah jatuh pada pragmatisme dan jebakan politis, yang alih-alih membuatnya kehilangan tujuan sosial yang diniatkannya. Karena itu, demikian mereka mengakhiri sessi kesekian dialognya itu, “spirit yang dilandasi pada kebebasan-kreatif-lah” yang akan membuat karya sastra memiliki fungsi sebagaimana mestinya sebuah karya sastra.

Sementara itu, terkait tradisi dan kreativitas individual, para jenius tidak dilahirkan dari rahim kemalasan, meski kadangkala mereka terlahir dengan bakat alam sejak kecil alias terlahir dengan kecerdasan alami. Tapi dari ketekunan, kerja keras, perjuangan teguh yang konsisten. Kita tahu Albert Einstein, contohnya, sudah menampakkan kecerdasan sejak kanak-kanak, namun temuannya yang membuat masyhur ia dapatkan dan ia raih dari pembelajaran dan pencarian yang sabar dan terus-menerus.

Demikianlah, acapkali penemuan seorang ilmuwan tidak ia dapatkan sendiri begitu saja, melainkan ketika mereka berhasil menggenapkan, menambah, meneruskan, menyelesaikan, atau melengkapi tesis, teori, dan temuan para pendahulu mereka. Dalam lingkup atau komunitas alias tradisi saintifik itulah, keberhasilan, temuan, dan prestasi sejumlah ilmuwan diraih ketika mereka sanggup mengoreksi kekeliruan dan menyelesaikan kebuntuan para pendahulu mereka, atau ketika mereka berhasil memecahkan “kegagalan teoritik dan saintifik” para pendahulu mereka.

Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa prestasi kreatif atau keberhasilan saintifik seseorang tidak murni individual. Tradisi dan kerja serta karya dan temuan para pendahulu mereka telah memberikan bahan dan kemungkinan bagi capaian dan keberhasilan para penerus mereka di kemudian hari. Dalam lingkup dan komunitas para fisikawan, contohnya, keberhasilan dan temuan para fisikawan justru ketika mereka menyelesaikan kegagalan dan kebuntuan para pendahulu mereka tersebut, dan karena mereka tetap menghormati para pendahulu mereka, karena mereka justru mendapatkan “berkah” dari kegagalan para ilmuwan dan fisikawan sebelum mereka tersebut.

Bagaimana dalam dunia sastra? Tentu saja tidak jauh berbeda. Prestasi dan keberhasilan seorang penyair atau penulis acapkali ia raih ketika mereka mampu belajar dari “kekurangan” dan “keberhasilan” para pendahulu mereka dalam menggali dan mengolah kemungkinan naratif dan eksperimentasi bentuk tuturan dan penulisan itu sendiri, dalam “membunuh” sekaligus “menghidupkan” bahasa. Dan tentu saja dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan T.S. Eliot, apa yang kita sebut tradisi bukanlah kejumudan dan ketaatan-buta yang justru akan mematikan dan menghambat kreativitas.

Saya sendiri lebih suka menganalogikan, meski barangkali tak persis relevan dan akurat, tradisi seumpama sawah yang harus dibajak, dicangkuli, dan ditanami kembali setelah sebelumnya telah dibajak dan ditanami. Dan tentu saja, resikonya, adalah hasil yang lebih baik, sama saja, tak jarang malah buruk, gagal, dan mengecewakan. Kita lah para pembajak dan penanam yang kadang berhasil memuaskan dan tak jarang mengecewakan itu. Di mana temuan, kreativitas, dan inovasi kita sendiri akan sangat berpengaruh pada kerja dan ikhtiar estetik dan literer kita sendiri.

Tak ubahnya dalam dunia saintifik dan komunitas ilmuwan dan para fisikawan itu, kita pun dapat mengetahui tempat dan posisi kita ketika kita belajar dari kekurangan dan keberhasilan para pendahulu kita, ketika mereka bekerja dan bergulat di ladang-ladang narasi dan pematang-pematang bahasa. Dengan resiko yang juga tak jauh berbeda: kita bisa melanjutkan, melampaui, bahkan jatuh dalam kegagalan alias terjerembab dalam degradasi yang malah menjadi lebih buruk dibanding para pendahulu kita.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar