Jumat, 05 Desember 2014

Epos Puitik dari Surga


Sumber: Tabloid Banten Muda Edisi 19 -Oktober 2013

Berawal dari Umberto Eco, sebagaimana yang dikatakan Teresa de Lauretis ketika membincang karya-karya Umberto Eco, yang menafsirkan kisah Adam di Surga sebagai kiasan manusia untuk menemukan bahasa dan pengetahuan, karena menurutnya larangan Tuhan untuk memakan buah pengetahuan mestilah dipahami sebagai desakkan pertama ambiguitas, yang dari ambiguitas itulah terbuka sekian kemungkinan bagi makna dan pemaknaan yang baru dan berbeda, apa yang disebutnya sebagai moment penemuan bahasa yang simultan.

Sewaktu masih di Surga, Adam dan Hawa hanya memiliki dua kata alias dikotomi, seperti baik-buruk, indah-jelek, boleh dimakan-tidak boleh dimakan, dan ketika Tuhan melarang Adam dan Hawa untuk mendekati dan memakan the apple of knowledge, Tuhan sebenarnya sedang memperkenalkan kontradiksi semantik: apel dan pengetahuan adalah entitas yang baik dan karena itu seharusnya boleh dimakan, tetapi pada saat yang sama adalah buruk dan tidak boleh dimakan. Tak pelak, dalam pemahaman Umberto Eco, larangan Tuhan tersebut merupakan kontradiksi dan ambiguitas: sesuatu yang baik pada saat bersamaan juga berarti buruk.

Kisah Adam-Hawa tersebut menurut Umberto Eco sebenarnya hanya sekedar menunjukkan untuk merasakan kesenangan dalam mencandra teks dan menggauli pengetahuan, mengenali hasrat dalam bahasa, di mana dari kisah itu pula, manusia memulai sebuah eksperimen penemuan bentuk kata baru, menemukan irama, nada, dan puisi. Bersamaan dengan tanda yang manasuka, manusia menemukan struktur kode bahasa dan memperbarui sejarah puisi, Adam menemukan fungsi puitik dalam bahasa.

Sementara itu, perjumpaan mereka dengan ular dapat dimengerti sebagai sebentuk keakraban dengan situasi pra-bahasa, yang dalam hal itulah mereka meninggalkan Surga sejak mengalami perjumpaan dan bermain dengan bahasa, yang dengan itu pula sejarah pun dimulai.

Dan, dalam tradisi sufisme semisal yang diulas William C. Chittick, pembacaan kisah Adam tersebut salah-satunya dibaca dalam kerangkan teologis dan pedagogi seperti dalam Rawh al Arwah-nya Sam’ani, yang merupakan karya yang menceritakan ulang kisah Adam tersebut melalui prosa-puitik: “Tuhan membawa Adam masuk ke dalam taman kelembutan dan mendudukkannya di atas singgasana kebahagiaan. Tuhan memberinya guci-guci keriangan satu demi satu, kemudian mengeluarkannya, mendukai, membakar, dan meratapi. Sehingga, sebagaimana Tuhan membiarkan ia mencicipi kelembutan pada awalnya, Tuhan juga membuatnya merasakan tegukan kekerasan yang murni, tak tercampur, dan tanpa penyebab”.

Baik pembacaan Sam’ani atau pun Umberto Eco, meski dengan tafsiran yang berbeda, tetap memandang teks-teks kitab suci sebagai metode tuturan yang mendesakkan ketakterusterangan dan ambiguitas, pembacaan yang menolak definsi hitam-putih yang rigid dan jelas. Hingga al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya itu mensinyalir ada makna lahir dan ada makna bathin (surplus meaning) dalam teks-teks tertentu kitab suci, terutama sekali dalam teks-teks yang terasa sangat puitis.

Tetapi, untuk kasus al Ghazali, seperti kita tahu, tetap ingin menjaga penafsiran verbal-nya sesuai dengan audiens pembacanya, yang dalam hal ini adalah masyarakat awam. Ta’wil, menurut al Ghazali, memang hanya mungkin ditangkap dan digali oleh kaum intelektual yang terdidik dan memiliki wawasan kebahasaan, bukan hanya sebagai modus perintah, meski al Ghazali sesekali mengkritik para ulama yang memaksakan penafsiran verbal sebagai satu-satunya sebagai pembacaan yang paling sah dan mesti dianut semua ummat yang mempercayai kitab suci.

Bahkan ia pernah mengkritik dengan nada yang keras sembari menyindir bahwa orang-orang yang memaksakan penafsiran verbal kitab suci sebagai satu-satunya pembacaan yang paling sah tersebut sesungguhnya tengah mengakui diri mereka sendiri akan ketakmampuannya untuk menta’wil ayat-ayat tertentu kitab suci.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar