Selasa, 02 Desember 2014

Ziarah Bathin Ke Negeri-Negeri Islam




Oleh Annemarie Schimmel

Pakistan menjadi fokus studi saya setelah meninggalkan Turki. Ada banyak perjalanan yang membawa saya ke sana selama kurun waktu beberapa tahun hingga hari ini. Saya menjadi begitu hafal setiap sudut dan tikungan dari negeri yang luas itu, tidak hanya padang-padang stepa Sind yang dihiasi titik-titik mausoleum di sana-sini, tapi juga kemudian wilayah pegunungannya di utara.

Saya tidak tahu lagi, mana yang paling hebat dari 30 kali kunjungan saya ke Pakistan. Apakah episode di Islamabad ketika saya menerima penghargaan Hilal-i Pakistan – penghargaan tertinggi bagi masyarakat sipil di Pakistan – yang diberikan pada sebuah upacara yang dihadiri oleh Aga Khan? Atau perjalanan ke Khunjrab Pass yang berada di ketinggian 15.000 kaki di perbatasan Cina? Atau penerbangan di sepanjang Nanga Parbat menuju ngarai di lembah Indus? Atau keramahan luar biasa yang ditunjukkan oleh masyarakat termiskin di pedesaan, yang ditunjukkan oleh ketergesaan seorang pengawal yang memberikan segelas air kepada tamu terhormat dari Jerman? Atau mungkin perjalanan dengan helikopter kecil melintasi Balochistan di wilayah selatan negeri menuju Las Bela, lalu menuju ke gua suci Hinglaj di pegunungan Makran, sebuah tempat suci yang akhirnya mampu kami capai dengan menunggang unta?

Saya juga menyaksikan perubahan politik; berbicara panjang lebar dengan Bhutto dan Jenderal Zia ul-Haqq; menyaksikan tumbuhnya industrialisasi; hilangnya pola-pola kehidupan lama secara perlahan; meningkatnya ketegangan antara faksi-faksi yang berbeda; hingga pergantian dan pembunuhan menteri dan kepala negara. Namun keragaman kultural yang sangat kaya, serta persahabatan dengan begitu banyak orang (yang biasanya mengenal saya dari seringnya saya tampil di televisi), membuat saya benar-benar menemukan rumah saya di Pakistan.

Ketertarikan saya terhadap Pakistan – dan seluruh Anak Benua tersebut – mendapatkan berbagai macam dukungan. Pada tahun 1960, sebelum mendapat panggilan dari Universitas Bonn untuk mengajar studi-studi ke-Islaman dan bahasa-bahasa yang relevan dengan subyek itu, saya sempat membantu penyelenggaraan Kongres Internasional Sejarah Agama di Marburg. Lima tahun kemudian sejumlah kolega Amerika mengundang saya untuk membantu mereka mengorganisir kongres kedua di Claremont, California. Itu menjadi kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat. Saya benar-benar menikmatinya, mengunjungi dari Disneyland hingga Grand Canyon dan New York, yang semuanya tak berhenti memikat hati saya.

Konferensi itu sendiri secara jelas menunjukkan pentingnya pendekatan kesejarahan terhadap studi-studi agama yang diinisiasi oleh beberapa sarjana Eropa namun kemudian dikembangkan secara lebih dinamis oleh sejumlah sarjana di Amerika Utara. Tapi yang membuat saya lebih bingung dibanding tegang terhadap berbagai pendekatan ini, adalah pertanyaan dari Wilfred Cantwell Smith tentang kesediaan saya untuk bergabung dengan Harvard dan mengajar mengenai budaya Indo-Muslim. Itulah yang diidamkan oleh pimpinan Minute-Rice [1] yang terkenal, seorang Muslim India kaya, yang tergila-gila dengan puisi Urdu karya Mir (w.1810) dan Ghalib (w. 1869), yang menginginkan agar karya-karya penyair pujaannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk memikat Barat, seperti yang dilakukan Fitzgerald terhadap Rubaiyat Omar Khayyam lebih dari seabad silam. Tidak, jawab saya; saya tidak tertarik sama sekali – Urdu bukan bagian dari studi saya. Dan Amerika? Saya tidak pernah bermimpi untuk menetap di sana.

Sampai titik itu saya masih punya alasan untuk menolak tawaran tersebut, atau setidaknya untuk bersikap ragu: setelah pindah ke Bonn pada 1961, saya menjadi editor sejak tahun 1963 untuk sebuah jurnal budaya berbahasa Arah dengan Albert Theile, salah satu dari sedikit elit jenius penulis budaya. Jurnal kami, Fikrun wa Fann, sering dipuji sebagai jurnal paling cantik yang terbit di Jerman. Saya bukan hanya bertanggungjawab atas naskah-naskah berbahasa Arabnya, namun juga dalam komposisinya. Saya belajar bagaimana membuat lay-out secara klasik, dengan menggunakan gunting dan lem hingga tercipta sebuah karya yang sempurna. Untuk memilih artikel, penulis dan ilustrasi, kami harus mengunjungi banyak sekali museum, teater, pertunjukan balet, sehingga wawasan saya terhadap karya-karya seni terbuka lebar dan memungkinkan saya mengeksplorasi minat artistik yang saya miliki: sesuatu yang dengan caranya sendiri menunjang profesi akademis saya. Meninggalkan jurnal yang saya lahirkan ini? Tidak!

Namun, siapa yang sanggup menolak tawaran dari Harvard? Saya akhirnya menerimanya, terutama karena saya tak lagi melihat ada peluang untuk promosi lebih tinggi di Jerman – ketika pimpinan saya mengatakan, “Miss Schimmel, kalau saja anda seorang laki-laki, anda akan mendapatkan jabatan!”

Kontrak saya dengan Harvard dimulai pada bulan Juli 1966, namun saya memanfaatkan bulan-bulan pertama untuk membeli buku di India dan Pakistan. Sekembalinya dari Iran, saya singgah ke Afghanistan, yang keindahan alamnya menawan hati – dan danau berwarna safir Band-i Amir itu, bukankah seperti diambil begitu saja dari mimpi kanak-kanak kita? Belakangan saya memang harus kembali beberapa kali ke negara ini, menjumpai penduduknya yang sangat ramah, menempuh perjalanan dari Sistan ke Balkh, dari Ghazni ke Heart, di mana setiap tempat dipenuhi dengan kenangan mengenai sejarah Islam dan menggemakan kembali bait-bait puisi Persia.

Saya tinggal cukup lama di Lahore, lalu pindah ke India, yang di tahun-tahun berikutnya semakin saya kenal dengan baik – tidak hanya bagian utaranya yang menyimpan warisan Moghul, tapi juga bagian selatannya. Di sana saya menemukan kota-kota bekas pusat kerajaan kecil Deccan – Gulbarga, Bidar, Bijapur, Aurangabad, dan Golconda-Hyderabad. Begitu banyak saksi dan bukti mengenai warisan literatur dan artistik yang luar biasa namun sangat sedikit diketahui. Sekali lagi sebuah dunia baru untuk dibuka untuk saya. Sebuah dunia yang akan saya coba paparkan kepada mahasiswa-mahasiswa saya di Harvard nanti. Sebuah dunia yang memungkinkan saya menawarkan bantuan ketika Cary Welch menyiapkan pameran istimewa bertajuk “INDIA!” pada tahun 1985 di Museum Metropolitan, kelak.

Pada bulan Maret 1967 saya tiba di Harvard dan mengalami badai salju yang sangat buruk pagi itu. Tak seorang pun mengingatkan saya bahwa hal itu biasa terjadi. Juga tak seorangpun merasa perlu mengenalkan saya pada rahasia administrasi di Harvard: tumpukan peraturan yang meliputi soal tingkat, makalah, pertemuan-pertemuan penting, perbedaan antara sarjana dan pasca-sarjana, dan sebagainya. Bagaimana mungkin seseorang, yang berasal dari sistem akademis yang sepenuhnya berbeda (Turki dan Jerman) diharapkan langsung memahami hal-hal tersebut? Semester pertama sungguh penuh tantangan: saya tidak hanya dipaksa untuk memberi kuliah pengantar sejarah Islam, bahasa Persia, Urdu, dan beberapa mata kuliah lain, tapi juga di setiap waktu luang saya harus nongkrong di pojok perpustakaan Widener untuk membuat daftar beratus-ratus buku berbahasa Urdu yang didatangkan dari Anak Benua tersebut. Jika sebelumnya kami hanya memiliki enam atau tujuh terbitan berbahasa Urdu – itu yang saya jumpai di katalog pertama – maka sekarang Widener bisa menyombongkan diri sebagai salah satu perpustakaan yang menyimpan karya berbahasa Urdu dan Sindhi terlengkap di Amerika Serikat.

“Harvard adalah tempat paling sunyi di dunia,” kata seorang kolega Amerika memperingatkan, dan memang hanya karena mahasiswa-mahasiswa yang luar biasalah saya sanggup bertahan melewati tahun-tahun pertama yang sungguh sulit. Mereka adalah mahasiswa dari India, Pakistan, dari Carolina dan Pantai Barat, dari Iran dan dunia Arab, penganut Yesuit, Muslim dan Budhis. Merekalah anak-anak saya, yang menolong saya melewati masa-masa nyaris putus asa, serta yang datang kepada saya untuk meminta bantuan atas persoalan yang mereka hadapi (baik terkait pendidikan maupun problem pribadi), dan dengan demikian membantu mengatasi persoalan saya sendiri. Kemudian, sebagaimana saya mengalami Istanbul dari kacamata penyair, demikian pula saya belajar mengenai “para wanita Cambridge yang hidup dengan jiwa yang utuh” melalui puisi E.E. Cummings.

Masalahnya adalah saya harus mengajar dalam bahasa yang bukan bahasa asli saya, dan meskipun saya sangat menikmati mengajar dalam bahasa Turki, saya selalu ingat pengalaman ketika saya hampir gagal dalam pelajaran bahasa Inggris ketika duduk di bangku SMA, meskipun ketika itu saya sudah menerbitkan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Buruknya lagi, di Jerman saya bisa memanfaatkan karya-karya terjemahan puitik yang luar biasa dari puisi Timur yang ditulis sejak tahun 1810, dan ketika karya yang diperlukan tidak tersedia maka saya akan menerjemahkannya sendiri. Tapi di sini saya seperti bisu, karena tidak bisa memberikan penjelasan harta karun ini kepada para mahasiswa – atau setidaknya itu yang saya pikir.

Ketika Harvard menawari posisi tetap pada tahun 1970, saya merasa lebih aman dengan pengaturan untuk mengajar satu semester dengan beban dua kali lipat, sehingga saya bisa menghabiskan hampir seluruh musim gugur di Jerman dan Anak Benua India, saya kira akan berkontribusi positif baik terhadap riset saya sendiri maupun mahasiswa saya. Ketika akhirnya pengaturan itu diterima oleh pihak universitas, maka itu terutama disebabkan oleh upaya dan jaminan komisaris Minute-Rice, Mr. James R. Cherry, yang persahabatan serta nasihat-nasihat bijaknya terus menemani sejak saya pertama kali menginjakkan kaki ke negeri ini. Selama selang waktu tersebut, terutama setelah saya pindah ke Eliot House, saya semakin merasa menjadi anggota sejati komunitas Harvard, bertemu dengan kolega-kolega yang berasal dari latar belakang dan spesialisasi berbeda di Senior Common Room – sesuatu yang oleh sekelompok kecil anggota departemen “eksotis” perlukan untuk membangun sensitivitas terhadap aneka persoalan yang dihadapi oleh sebuah universitas elit dan ternama.

Agak aneh karena meskipun saya hidup di tiga benua, namun produktivitas menulis saya terus tumbuh. Amerika Serikat memaksa saya untuk menulis dalam bahasa Inggris, yang artinya saya menjangkau lebih banyak pembaca ketimbang sebelumnya, ketika saya menulis dalam bahasa Jerman. Saya juga menikmati kesempatan untuk mempelajari berbagai hal mengenai Amerika Utara, melalui berbagai seminar dan konferensi yang mengantar saya ke kampurs-kampus utama. Di mana-mana saya berjumpa dengan teman. UCLA adalah salah satu yang hampir secara rutin saya kunjungi untuk menghadiri konferensi Levi-della-Vida, dan di salah satu konferensi tersebut, tanpa saya duga, saya menerima penghargaan Levi-della-Vida pada tahun 1987. Lalu Salt Lake City dan pemandangan alam yang amat memukau di selatan Utah; kemudian Eugene (Oregon) dan Dallas; Chapel Hill dan Toronto serta masih banyak lainnya; kemudian Chicago dengan sekelompok ahli sejarah agama yang memasukkan saya ke jajaran editor Encyclopedia of Religion-nya Mircea Eliade yang sangat prestisius. Juga harus saya sebutkan kuliah-kuliah ACLS dalam Sejarah Agama pada musim semi 1980, yang memperjalankan saya dari Tennessee dan Duke ke Edmonton, Alberta. Saya kira saya sudah memecahkan rekor jumlah mata kuliah yang diajarkan mengenai aspek-aspek puitik sufisme dalam Islam, yang kemudian terbit dengan judul Through a Veil. Waktu yang saya habiskan di seberang lautan juga sebagian besarnya digunakan untuk memberikan kuliah dari Swiss ke Skandinavia, dari Praha ke Australia, dari Mesir ke Yaman, dan juga berpartisipasi dalam berbagai perayaan terkait 2500 tahun Iran pada 1971.

Saya sering ditanya apakah tidak meletihkan menjalani hidup yang demikian: dari kelas ke kelas, menulis, dan membicarakan berbagai topik di berbagai kesempatan. Ya, mungkin demikian pada waktu-waktu tertentu,  namun suka cita yang dialami seseorang ketika bertemu dengan demikian banyak pribadi yang menarik, menyibukkan diri dengan diskusi-diskusi yang hidup setelah kuliah usai – sambil sarapan, makan siang atau makan malam – sudah tentu sangat menyemangati, karena itu semua memenuhi pikiran kita dengan ide-ide segar. Bahkan pertanyaan bodoh dari seorang wartawan yang tak terlatih, atau pertanyaan sok tahu dari seorang pelajar SMA, semuanya menjadi petunjuk bahwa kita harus menyelesaikan persoalan dengan lebih taktis, atau memformulasikan jawaban dengan lebih jelas. Sudah barang tentu, pertanyaan yang paling sering diulang, “Bagaimana mungkin, sebagai perempuan anda tertarik dengan Islam dan semua itu?” akan membuat saya hilang sabar dan bahkan marah!

Lingkaran kesarjanaan saya, yang hampir bisa disamakan dengan kehidupan saya sendiri, kian meluas. Kenyataan bahwa pada sepupu saya, Paul Schimmel, (yang namanya diambil dari almarhum ayah saya yang tidak pernah mengenalnya) juga mengajar di MIT dan terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and Sciences persis pada hari yang sama dengan saya sendiri, terus menjadi sumber kebahagiaan untuk saya. Saya bangga terhadapnya dan keluarganya yang penuh kasih, terutama pada dua anak perempuannya yang sangat berminat terhadap kebudayaan Islam.

Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa menyaksikan perkembangan para mahasiswa (beberapa di antara mereka sekarang sudah pensiun sebagai duta besar, atau menjadi guru besar senior). Tapi juga tak terkatakan rasanya melihat bagaimana bibit-bibit spritualitas yang sejak lama disemai bersemi dan tumbuh menjadi bunga-bunga indah dan buah yang membanggakan. Ketika saya mulai belajar bagaimana menerapkan pendekatan fenomenologis terhadap agama, yang secara mudah diartikan sebagai memahami manifestasi eksternal dari agama, untuk kemudian secara bertahap masuk ke inti ajaran agama, saya yakin (dan masih terus yakin) bahwa pendekatan ini akan mengantarkan pada toleransi yang amat kita butuhkan sekarang ini, tanpa kekhawatiran akan lebur dalam pandangan-pandangan “sinkretistik” yang membahayakan imannya dan mengaburkan semua perbedaan.

Tapi bagaimana saya berani bermimpi bahwa suatu hari (tepatnya pada 1980) saya akan terpilih sebagai Presiden dari International Association of the History of Religion, perempuan pertama dan Islamolog pertama yang menduduki posisi ini? Atau bagaimana orang akan meramalkan bahwa pada 1992 saya akan menyampaikan kuliah di Gifford Lectures di Edinburgh, sesuatu yang selalu menjadi impian setiap ahli sejarah agama, teolog dan filosof? Kalau saya mengingat lagi bacaan Persia saya di semester kedua, ketika saya berusia 17 tahun, Safarnama, karya filsuf besar Ismaili abad pertengahan Nasir-i-Khusraw (wafat setelah 1071), apakah saya membayangkan bahwa beberapa mahasiswa terbaik saya di Harvard adalah anggota komunitas Ismaili, atau bahwa saya akan berhubungan erat dengan Institute of Ismaili Studies di London, di mana saya selalu gembira mengajar selama musim panas dan untuk siapa saya rela menerjemahkan (kali ini, syukurlah, ke dalam bahasa Inggris!) puisi-puisi dari buku asli Nasir-i-Khusraw?

Dan ketika saya merasa nyaris putus asa di Arbeitsdients sebelum memasuki universitas, menulis surat kepada seorang imam di Masjid Berlin memohon bantuannya untuk mengenalkan pada sebuah keluarga di Lahore sehingga saya bisa tinggal di sana untuk belajar bahasa Urdu (yang tentu nyaris terdengar sebagai sebuah utopia pada waktu itu!) – siapa yang akan menyangka bahwa 40 tahun kemudian, pada 1982, salah satu lorong paling indah di Lahore akan dinamai dengan nama saya?

Seluruh hidup saya, yang lingkarannya semakin luas, sebagaimana dikatakan Rilke, adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Sudah barang tentu, dari belajar dan belajar lagi tentang sejarah, kadang membuat saya ngeri mengamati perubahan perspektif yang terus-menerus terjadi dalam ranah politik di negara-negara yang dekat di hati saya. Mungkin, ketika kita mengamati masyarakat-masyarakat Islam (tentu saja bukan hanya Islam) di masa modern, kita jadi memiliki keterampilan untuk mengingat pasang surut sejarah, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Afrika Utara abad ke-14, Ibn Khaldun, dalam muqaddima-nya yang terkenal –dan sempat saya terjemahkan dahulu kala. Selain itu, dengan mempelajari sejarah orang akan cenderung (dan ini juga saya rasakan) untuk mencari kekuatan tetap yang berdiri di bawah samudra, di balik permukaan yang penuh gelombang peristiwa.

Orangtua saya yang bijaksana mengajarkan hal ini dengan cara yang berbeda. Tanpa pemahaman ayah mengenai inti ajaran agama, dan tanpa kebijaksanaan ibu yang demikian mendalam serta kesabarannya yang seolah tanpa batas menghadapi putrinya yang cenderung aneh, juga dukungan tanpa letihnya, bisa dipastikan saya akan menjalani hidup yang berbeda. Sebagai gadis desa yang tak pernah menamatkan pendidikan menengahnya dan murni seorang otodidak, ibu membaca naskah-naskah yang saya tulis dan mengoreksi buku-buku serta artikel berbahasa Jerman saya serta bertindak, seperti diistilahkannya, sebagai “suara orang kebanyakan”. Dengan demikian mengajarkan pada saya untuk menulis dengan membayangkan para pembaca awam. Namun di sisi lain, ibu juga menjadi penyeimbang bagi kecenderungan saya tenggelam terlalu dalam di dalam mimpi-mimpi spiritualitas cinta, dan karena ibu sendiri adalah seorang yang supersensitif, ia menjaga agar saya tidak kehilangan ketenangan dan pemikiran kritis saya.

Walaupun tampaknya masa belajar itu akan segera berakhir, saya mengerti bahwa setiap pengalaman – bahkan yang paling tidak menyenangkan sekalipun – mengajarkan sesuatu kepada saya: bahwa setiap pengalaman itu harus disatukan untuk memperkaya keseluruhan kehidupan. Tidak ada kata akhir untuk belajar, sebagaimana tidak ada akhir untuk kehidupan. Iqbal menyatakan ini dalam kalimatnya yang sangat berani: “Surga itu adalah tak ada hari libur!” katanya, merujuk pada Goethe dan para pemikir lain. Bahwa kehidupan yang abadi sekalipun adalah sebuah proses bertumbuh yang terus-menerus, dan itu artinya belajar – belajar dengan cara yang misterius mengenai misteri-misteri keilahian yang kerap tak terduga, yang menyembunyikan diri di balik berbagai pertanda. Penderitaan adalah bagian dari proses ini, dan salah satu tugas paling sulit dalam hidup ini adalah belajar kesabaran.

Belajar, untuk saya, adalah proses mentransformasi pengetahuan dan pengalaman kepada kebijaksanaan dan cinta, untuk menjadi matang. Seperti dikatakan oleh sebuah nasihat dari Timur, bahwa batu biasapun bisa berubah menjadi rubi jika ia mengizinkan dirinya terbakar cahaya matahari, dan meneteskan darah untuk sebuah pengorbanan yang agung. Mungkin beberapa bait puisi yang saya tulis setelah mengunjungi musoleum Maulana Rumi di Konya berikut ini secara lebih tepat mengungkapkan apa arti belajar untuk saya:

Kau tak akan pernah mencapai gunung perak itu
yang tampak, seperti kumpulan awan sukacita,
dalam cahaya malam

Kau tidak akan pernah melintasi danau penuh garam
yang terus tersenyum kepadamu
dalam kabut pagi

Setiap langkah di jalan ini akan membawamu semakin jauh
dari rumah, dari bunga-bunga, dari musim semi.
terkadang bayangan awan akan meneduhi jalanmu
terkadang kau mendapati dirimu beristirah di puing-puing yang ditinggalkan kafilah,
mencari Kebenaran dari balik kepulan asap jelaga,
terkadang kau melangkah beberapa depa
bersama jiwa yang kau kira keluarga
hanya untuk kehilangan dirinya

Kau akan terus melangkah, tercabik awan,
terbakar matahari,
sementara seruling sang gembala
mengabarkan kepadamu tentang “Jalan darah”.

Sampai kau tak sanggup lagi menangis
sampai danau menjadi asin
oleh air matamu yang mengering

yang mencerminkan gunung sukacita
yang lebih dekat kepadamu, daripada hatimu.

(Annemarie Schimmel, 1993)

Catatan:

[1] Minute-Rice adalah merek nasi instan terkenal yang pertama kali diperkenalkan oleh General Food pada tahun 1949. Diterjemahkan oleh Nurul Agustina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar