Penyair Libanon, Khalil
Gibran, pernah menulis: “Kasihan bangsa yang memakan gandum yang tidak
dituainya dan yang meminum anggur yang tidak diperasnya”. Meski barangkali
Gibran menulis dalam rangka untuk “membentuk” jati-diri, kreativitas, dan
kemandirian bangsanya, yaitu Libanon, agar bisa hidup dari tangan, kerja keras,
dan kreativitas atau inovasinya sendiri, namun suara Gibran tersebut
sesungguhnya telah keluar dari lingkup bangsanya dan menjadi relevan juga bagi
kita. Seperti kita tahu bersama, saat ini kita hidup dalam sebuah dunia yang
telah “mengglobal”, di mana kejadian di dunia nun jauh di sebelah sana akan
berdampak ekonomis dan politis bagi kita yang ada di sini. Namun, tentu kita
juga tidak mau begitu saja menjadi bangsa yang hanya bisa mengkonsumsi semata
dalam kadar dan konteks yang demikian.
Kita acapkali
selalu mudah kagum, dan latahnya malah bangga, dengan apa saja yang berbau dan
berasal dari “Barat”. Dari mulai hal-hal yang remeh hingga ke soal ideologi dan
pandangan hidup, di mana seakan-akan dengan bersikap dan berpandangan
westernize tersebut, kita seolah menjadi manusia modern, tanpa kemudian
dibarengi oleh tekad kita sendiri untuk menjadi manusia dan bangsa yang juga
bisa melakukan inovasi sendiri dan tak hanya mengkonsumsi. Bila untuk menjadi
modern Anda hanya bisa meniru Barat mentah-mentah, berarti Barat akan menjadi
dokter Anda dan Anda hanya akan menjadi pasiennya. Dengan demikian, Anda hanya
akan menjadi pesakitan dan akan senantiasa menjadi objek penghasil dan ladang
tak berkesudahan bagi keuntungan Barat.
Beberapa
pemimpin Indonesia, misalnya, membanggakan bahwa Indonesia telah memiliki
industri, sembari pura-pura tidak tahu bahwa yang memiliki modal dan perusahaannya
adalah para oligarkh atau penguasa modal asing yang seringkali didikte dan
dikendalikan tombol politik Negara asal si pemodal tersebut dan akan membawa
pulang keuntungannya yang lebih besar dari Indonesia ke negerinya, contohnya
pertambangan Freeport di Papua sana. Kita lupa, bahwa memiliki industri tidak
sama dengan membangun sistem industri. Dalam hal ini, ketika diwawancara oleh
Kartika Candra, Samir Amin menyatakan: “membangun sistem industri adalah
membangun komplementaritas antara bermacam-macam industri lokal dan pada saat
yang sama memegang kontrol atas industri tersebut, bahkan jika sampai level
tertentu mereka melakukan ekspor atau berorientasi ke dalam negeri. Ini adalah
satu set kebijakan yang sangat kompleks dan sistematis. Anda bisa memiliki
industri seperti di Indonesia. Tapi secara de facto industri-industri itu
adalah bagian subkontrak dari monopoli kapital internasional”.
Apa yang
dinyatakan Samir Amin tersebut tak bisa kita anggap hanya sebagai angin lalu
saja. Sebagai perbandingan, barangkali kita perlu belajar dari Republik Islam
Iran, di mana ketika bangsa itu ditekan dan diembargo secara berkepanjangan,
justru membuat rakyat dan bangsa tersebut semakin kuat dan menjadi inovatif.
Secara militer, contohnya, Iran berhasil membuat jet tempur canggih sendiri,
dan secara tekhnologi Republik Islam Iran telah berhasil melakukan capaian
tekhnologi luar angkasa.
Kasus yang
paling nyata bagi Indonesia adalah IMF. Dengan agenda IMF yang memaksa
Indonesia untuk “memprivatisasi” (baca: menjual) BUMN-BUMN (Badan Usaha Milik
Negara), seperti yang dilakukan Laksamana Sukardi di era Megawati dan juga
kasus serupa di era SBY-Boediono, maka BUMN-BUMN yang semula dimiliki oleh
rakyat Indonesia pun pindah tangan ke tangan para oligarkh alias penguasa modal
–yang ternyata elit Zionist pula. Mereka alias Rotschild Dinasty, dengan
menguasai Bank Sentral, mencetak kertas tak berharga jadi dollar yang dipakai
untuk membeli BUMN-BUMN dan Kekayaan Alam Indonesia. Mereka dielu-elukan
sebagai “Investor Asing”. Dan di sini, kaum ekonom dan para teknokrat
neo-liberal sebenarnya tak lebih para broker mereka.
Bahkan Bank
Sentral Indonesia, BI, sekarang ini diswastanisasi sehingga lepas dari
pemerintah berdaulat hasil pilihan rakyat. BI “bekerjasama” dengan lembaga
keuangan dunia seperti IMF alias International Monetary Fund dan World Bank
alias Bank Dunia yang jelas-jelas dikuasai para elite oligarkh global, yaitu
Zionist Rotschild Dinasty. Jadi pemerintah pilihan rakyat sudah tidak berdaulat
lagi terhadap BI, sementara para elit oligarkh penguasa modal, yakni kaum
Zionist itu, melalui IMF dan World Bank serta Perbankan dan Sekuritas yang
mereka miliki justru punya pengaruh yang luar biasa terhadap BI alias Bank
Indonesia.
Dan sebagai
informasi tambahan yang barangkali tak boleh kita lupakan adalah bahwa IMF
dikendalikan oleh Dewan Gubernurnya, yang juga merupakan kepala bank-bank
sentral yang berbeda atau kepala departemen-departemen bendahara bermacam-macam
negara yang dikuasai oleh bank-bank sentral mereka. Kekuatan pemungutan suara
di IMF juga memberikan Amerika Serikat dan Inggris (Federal Reserve dan Bank of
England – kedua-duanya dikuasai Keluarga Rothschild) kendali penuh atas IMF
alias International Monetary Fund tersebut.
Mudah-mudahan
bangsa kita tercinta ini masih bisa diselamatkan dan memang harus diselamatkan!
Semoga! Amin!
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar