Disampaikan di Acara
“Nyenyore Ramadhan Ala Rumah Dunia” 25 Agustus 2010 dengan Tema “Seni Menulis
Esai”
Seorang esais bisa menulis
sebuah esai lebih dimungkinkan dari sebuah keakraban dan keintiman dengan apa
saja yang tiba-tiba menarik perhatian dan perasaannya dalam keseharian –sejauh
pengalaman dan penangkapannya sendiri sebagai subjek atau pun pelaku hidup dan
keseharian. Begitu pun ketika saya membaca sebuah esai, kadangkala sebuah esai
yang saya baca membuat saya merasa terhibur dan membangkitkan minat saya untuk
terus membaca esai yang sedang saya baca hingga tuntas –dan kadang mengajak
saya untuk merenung, meragukan, dan memancing pertanyaan-pertanyaan yang
sebelumnya saya anggap lumrah dan lazim sebelum esai yang saya baca
menginformasikan sesuatu yang unik dan menyegarkan wawasan saya sendiri sebagai
pembacanya.
Begitulah, ketika saya
membaca sebuah esai –adakalanya saya merasa seperti tengah menyimak seseorang
yang bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang terasa intim dan akrab,
seolah-olah saya tengah berbincang dengan pacar atau kawan dekat saya sendiri
ketika saya membaca sebuah esai yang ditulis seorang esais.
Karena itu menurut saya
–bukanlah sesuatu yang tabu bila seorang esais mengemukakan atau pun
menceritakan apa yang ditulisnya dengan pendekatan dan cara pandang yang amat
pribadi dan subjektif. Bahkan ketika saya membaca sebuah esai yang ditulis oleh
seorang esais, sedikit banyaknya saya akan mengenali dan menyelami karakter dan
kepribadian penulisnya –jiwa dan perasaan-perasaan si esais itu sendiri melalui
esai yang ditulisnya.
Seorang esais yang
memiliki “sense of humor” yang segar biasanya akan menulis esai-esai yang nakal
dan penuh canda untuk mengungkapkan pendapat-pendapat dan perasaan-perasaannya
dalam sebuah esai –contohnya adalah ketika saya membaca esei-eseinya Mahbub
Djunaidi, KH Abdurahman Wahid, dan Ahmad Sobary. Sementara itu, seorang esais
yang memiliki kepribadian murung akan cenderung menulis esai-esai yang mengajak
kita untuk merenung dan memancing kita untuk selalu bertanya –contohnya adalah
esai-esai yang ditulis Soedjatmoko dan sebagian besar para pemikir dan filsuf.
Seorang esais akan sah
mengungkapkan rasa suka atau tidak suka dalam sebuah esainya tentang apa yang
dilihat, dipikirkan, dan dirasakannya. Seperti ketika saya membaca esai-esainya
Michel de Montaigne yang tanpa rasa canggung sedikit pun mengungkapkan sejumlah
kekesalan dan ketidaksetujuannya terhadap pandangan dan pemikiran yang
menurutnya konvensional dan tak lagi memiliki relevansi dan manfaat untuk hidup
keseharian. Montaigne pun tak canggung-canggung mengkritik kebekuan pemikiran
atau pun tulisan-tulisan para filsuf yang dibacanya.
Dari tulisan-tulisan
Montaigne-lah pengertian esai diambil dan diterima sebagai sebuah bentuk dan
gaya tulisan –yang berbeda dengan artikel ilmiah yang mesti rigid, rigorous,
dan steril dari perasaan-perasaan pribadi seorang penulis. Esai-esai Montaigne
yang saya baca itu tak jarang pula menggunakan sindiran dan canda untuk
mengkritik atau pun menolak pemahaman atau pun pemikiran dari tulisan-tulisan
para penulis yang dibacanya sebelum dia sendiri menuliskan pendapat-pendapat
dan komentar-komentarnya dalam esai-esai yang ia tulis.
Demikian juga –seorang
esais bisa menulis sebuah persoalan yang mulanya dianggap remeh dengan sangat
menarik dan menyadarkan saya tentang keberadaan sesuatu itu sendiri setelah
sebelumnya saya menganggap persoalan yang dibicarakan dalam esainya seorang
esais bukan sesuatu yang layak ditulis. Kemampuan tersebut dimungkinkan karena
kesanggupan seorang esais itu sendiri dalam menyampaikannya dalam kata-kata dan
tulisan dengan menarik dan merayu pembaca untuk membaca esai yang ditulisnya.
Misalnya, seorang esais
bisa menulis tentang kehidupan dan keseharian seorang tukang becak dari sudut
pandang yang bisa membuat kita bersimpati dan dapat merasakan kehidupan dan
keseharian si tukang becak yang ditulis oleh seorang esais. Atau ketika saya
membaca memoar seorang esais yang saya baca –sebuah otobiografi yang sanggup
mengajak saya untuk merenungi diri saya sendiri ketika membacanya.
Dengan demikian dapatlah
dikatakan –tentu saja ini pun masih dalam pengalaman dan pembelajaran saya
sebagai seorang pembaca dan penulis, sebuah esei adalah sebuah tulisan dan
bahasa yang memiliki jiwa dan kepribadian. Sebuah esai acapkali bersahaja
–tetapi dengan kesahajaan dan keluguan itu saya sebagai pembacanya merasakan
kejujuran apa saja yang dikatakan atau pun yang diceritakan oleh esai yang
ditulis seorang esais yang saya baca.
Juga di lain waktu dan
kesempatan yang berbeda –saya membaca sebuah esai yang acapkali nakal, segar,
dan penuh canda, yang dengan kenakalan dan kesegarannya tersebut saya sebagai
pembacanya merasa terhibur ketika membacanya sembari mendapatkan informasi dan
pengetahuan dari sudut pandang yang unik, bahkan kadangkala menggelitik
pemikiran dan perasaan saya yang membacanya.
Seperti itulah menurut
pengalaman pembacaan saya –sebuah esai menjadi menarik dibaca dan merayu saya
untuk terus membacanya karena suara-suara yang menggema dari kata-kata dan
bahasa yang berbicara di dalamnya mampu menyentuh tidak hanya pemikiran atau
pun kognisi saya, tetapi juga perasaan dan kepekaan bathin saya.
Bila tulisan ilmiah mesti
steril dan objektif hingga terasa kering dan membosankan ketika saya
membacanya, maka sebuah esai acapkali ditulis justru demi mengafirmasi dan
merayakan subjektivitas seorang esais itu sendiri sejauh pengalaman, pendapat,
pandangan, dan perasaan-perasaan yang ingin dikomunikasikan atau yang ingin
diceritakan melalui medium tulisan demi membagi pengalaman-pengalaman,
pandangan-pandangan, dan perasaan-perasaan yang ditulis seorang esais kepada
saya sebagai sebentuk interaksi yang terasa hidup dan akrab ketika saya membaca
esai-esai yang ditulis seorang esais.
Atas pengalaman dan
pembacaan demikianlah –lagi-lagi saya ingin menegaskan pemahaman saya sendiri
bahwa seorang esais akan menulis karena keakraban dan keintimannya dengan
subjek-subjek yang dipikirkan, dijumpai, dan dialaminya, yang seringkali
tulisan-tulisan yang ditulisnya lahir karena spontanitas alias bukan dari
rencana yang ketat. Seorang esais akan menulis apa saja yang menarik minat dan
perhatiannya tanpa mesti merasa terbebani dengan batas-batas disiplin dan
kajian –yang dengan keakraban dan keintimannya itu, pikiran dan perasaan
seorang esais menjadi sedemikian terlibat dengan subjek-subjek yang dialami dan
dihidupinya. “Sebuah esei tidak dituntut menjadi netral atau pun bebas nilai
dari imajinasi dan sisi-sisi pribadi seorang penulisnya”.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar