Radar Banten, 7 Juli 2014
Beberapa waktu yang silam,
kita dihebohkan dengan ulah tak bermoral seputar penyadapan yang dilakukan
Amerika atas perbincangan orang nomor satu di negeri kita yang semestinya
merupakan wilayah rahasia. Tidak usah heran! Itu sudah biasa bagi Negara yang
setia mempraktekkan standard ganda, yaitu Amerika, hingga Vladimir Putin sempat
berseloroh, “Saya iri pada Obama yang bisa memata-matai Negara berdaulat dan
tidak mendapat konsekuensi apa pun.” Belakangan, mulai terungkap pula ternyata
kelompok-kelompok teroris, kelompok pemberontak Suriah di Suriah dan ISIS di
Irak saat ini yang mengatasnamakan Islam di Timur Tengah itu, juga dibentuk
oleh Amerika bersama para sekutunya, utamanya Israel dan Rezim Saud.
Alhasil, tidak ada satu
kedutaan besar sebuah negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas intelijen
sevulgar Amerika di negara yang ditempatinya. Memang, urusan penilaian terhadap
kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib duta besar
dan diplomat yang bersamanya. Bagi negara yang tidak memiliki ideologi,
keberadaan kedutaan besar paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja sama
bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan hankam.
Sifatnya pasif. Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar dan
diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Yah semisal melakukan
aktivitas intelijen itu.
Mereka bisa memiliki
agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di mana mereka
bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran termasuk
memasok senjata dan sejenisnya. Dalam hubungan diplomatik, telah menjadi
konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan diplomatik, tidak
hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang bersama dengan
diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara yang dituju tidak
boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa kasus di dunia
menjadi alat kejahatan yang luar biasa.
Di Indonesia, campur
tangan Amerika telah begitu lama dibiarkan, hingga lambat-laun mengangkangi
bangsa ini. Dan, memang hal ini sudah cukup lama terjadi bagi negeri dan bangsa
yang sama-sama kita cintai ini.
Doktrin Arthur-Churchill
Sebagai contoh, pada
Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang
dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu
skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi
Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni
Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku,
Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).
Menurut doktrin itu,
kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia
Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia
disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia
dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa
dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen
menggantikan peran strategis Singapura.
Doktrin itu menjadi acuan
acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis
maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti
dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi
Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik
seperti yang direncanakan doktrin tersebut.
Kiprah CIA di Indonesia
Dalam hal ini barangkali
kita perlu membuka lembar-lembar buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim
Weiner, wartawan The New York Times, yang mengungkap bagaimana para diplomat AS
yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.
Dalam bukunya itu Tim
Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah
kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di
Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal
bernama Soeharto.
“Malik memanfaatkan
hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta
Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar
mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan
mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto
dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan”
buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka
pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.
Sementara itu, salah-satu
buku karya penulis Indonesia yang cukup informatif dalam membeberkan
aspek-aspek peranan pembangunan kultural dan ideologi Amerika lewat CIA dan
sejumlah lembaga yang dibina dan dibiayainya di Indonesia era Soeharto ini
ditulis oleh Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965
(Marjinkiri, 2013), yang menginformasikan keberhasilan Amerika melalui CIA dan
lembaga-lembaga binaannya dalam mengarahkan kepentingan, baik ekonomi, politik,
dan budaya di Indonesia yang menguntungkan kepentingan Amerika.
Sejak Indonesia Merdeka
Dan berdasarkan buku yang
ditulis Tim Weiner dan Wijaya Herlambang itu, puncak dan bukti paling kuat keterlibatan
Amerika di Indonesia melalui CIA-nya itu tak lain adalah ketika Amerika berada
di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen dan literatur membongkar
keterlibatan CIA (yang merangkap sebagai diplomat) di dalam peristiwa Oktober
1965 tersebut. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut
menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh
dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh
bukannya 5.000 orang. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu, yang
memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut
angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang yang tak tahu
apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era Hitler.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar