Banten Raya, 27 Juni 2013
Di masa-masa ketika ia
masih hidup sebagai pejuang HAM dan demokrasi, masa-masa ketika ia dengan penuh
vitalitas dan gigih membela para korban “kekuasaan unilateral”, ketika politik
dan kekuasaan dipegang dan dijalankan oleh para penguasa dan para politisi yang
lebih bersikap dan bertindak layaknya para mafioso, Munir memanglah kerikil
tajam di dalam sepatu yang sangat mengganggu telapak kaki dan langkah para
jenderal, birokrat, dan konglomerat. Masa-masa ketika politik yang dikuasai
oleh para mafioso tersebut lebih dipahami hanya sebagai seni dan kesempatan
untuk manipulasi dan melakukan pembodohan, Munir memanglah duri dan batu
sandungan yang mengganggu jalan para penguasa, korporat, dan para politisi
mafia yang mengeruk keuntungan dan menikmati kekuasaannya dalam sebuah sistem
yang masih emoh pada kritik, oposisi, dan transparansi.
Karena itu dalam pandangan
dan pengalaman saya sebagai warga sipil di sebuah negara yang bernama
Indonesia, masa-masa ketika politik dan kekuasaannya hanya meminta kepatuhan
justeru demi menutupi korupsi dan penyimpangan-penyimpangan para pemegang
kekuasaan dan kebijakan tersebut, Munir dapat disebut “martir” yang
“dikorbankan” oleh praktek-praktek ideologi dan kekuasaan tertutup, bila saya
meminjam istilahnya Karl Popper dalam bukunya yang berjudul Open Society and
Its Enemies.
Kita semua tahu apa yang
ingin dikritik dan dilawan Munir adalah praktek-praktek kebijakan politik dan
kekuasaan yang tiba-tiba menjelma kesemena-menaan, kesepihakan, dan
pembungkaman, unilateralisme yang kadung buta. Kekuasaan dan
kebijakan-kebijakan politik yang mengharamkan transparansi dan oposisi,
kekuasaan sebagian orang yang gampang mengorbankan orang-orang tak berdaya,
orang-orang seperti Marsinah contohnya, yang ketika berteriak tentang
pembungkaman, ketidakadilan, dan kesemenaan tersebut segera disumbat dan bahkan
direnggut suara teriakannya, juga tubuhnya, karena akan membuka kedok dan
topeng penyimpangan-penyimpangan kekuasaan dan praktek-praktek kebijakan
politik yang sepihak itu.
Dalam situasi seperti itu,
perjuangan Munir dan teriakan Marsinah adalah sebuah sikap dan pilihan dua
warga negara yang berada dalam lingkaran setan sistem dan praktek-praktek
kebijakan politik dan kekuasaan yang tertutup, perjuangan dan perlawanan
terhadap tirani kekuasaan otoriter, yang anehnya sempat juga memakai wajah dan
kedok demokrasi, seringkali gandrung mengatasnamakan stabilitas.
Bila saya meminjam
istilahnya Walter Benjamin, Munir adalah seorang individu sekaligus seorang
warga negara yang menjadi korban kekuasaan yang memonopoli kekerasan untuk
dirinya sendiri. Ketika negara dan kekuasaan cenderung mengapropriasi suatu
monopoli atas kekerasan untuk dirinya sendiri melalui intimidasi, yang
seringkali dijalankan dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum dan
birokrasi yang telah “dimandulkan” fungsinya untuk melayani dan menjamin
keamanan, kebebasan, kesamaan, dan kesejahteraan warga negara.
Selanjutnya saya juga akan
menyebut Munir sebagai sebuah contoh perjuangan dan teriakan ketika korupsi dan
kesepihakan hanya dimaphumi saja, ketika kesemena-menaan dan
penyimpangan-penyimpangan di-iya-kan begitu saja dengan sikap diam dan bungkam
kebanyakan orang. Di sini, bila saya meminjam frasenya Milan Kundera,
perjuangan Munir pada akhirnya adalah perjuangan untuk melawan lupa, yang
dengan itu pula kita pun dapat memetik pelajaran dan kebajikan, bahwa
peluang-peluang penyimpangan akan selalu ada dan muncul kapan saja bila
kekuasaan tidak memberi ruang bagi kritik dan oposisi. Karena sifat kekuasaan
dengan wewenang yang dimilikinya itulah ia senantiasa memiliki hasrat untuk
memonopoli dan mencari celah bagi pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan
sepihaknya. Begitulah ratusan tahun silam Alexis Tocqueville mewanti-wanti
bahwa kekuasaan eksekutif yang dibiarkan tanpa kontrol dan pengawasan memiliki
peluang menjelma tirani.
Munir bagi saya adalah
suara lantang, mungkin terlampau keras, di sebuah negara yang gampang memaafkan
dan melupakan korupsi dan penyimpangan, pembungkaman dan pembunuhan politik
yang dilakukan para konspirator yang merasa terancam dengan teriakannya, Munir
adalah seseorang yang tak pernah lelah untuk selalu mengingatkan akan
pentingnya hak warga sipil untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan dari segala
bentuk intimidasi. Tetapi Munir tak cuma suara lantang yang memprotes
kesemena-menaan, korupsi, dan penyimpangan politik para mafioso dan para
konspirator, ia juga seseorang yang melawan jalinan konspirasi politik yang
memang sudah berakar lama, sebuah jalinan aneh dan runyam institusi-institusi
hukum dan birokrasi yang telah dikuasai secara sepihak oleh para bandit
berseragam dan berdasi, orang-orang yang disebut Munir “tak ubahnya para
pengecut yang berlindung di bawah ketiak kekuasaan”. Kekuasaan yang bila
mengutip sinyalemennya Ignas Kleden (2003), hanya memahami orientasinya semata
untuk memperebutkan kekuasaan itu sendiri, bukannya pada bagaimana kekuasaan
itu digunakan secara efektif untuk mencapai kehidupan yang baik (good life)
seperti yang dibayangkan Aristoteles ribuan tahun silam.
Komitmen dan perjuangan
Munir untuk menegakkan hukum dan kebebasan pada akhirnya adalah kerja politik
untuk menyehatkan ruang publik agar terbebas dari praktek-praktek
unilateralisme yang menggunakan hukum dan kekuasaan demi kepentingan sepihak
kelompok dan orang-orang tertentu saja, kelompok dan orang-orang yang tak
segan-segan mengorbankan cita-cita bersama warga negara untuk mendapatkan
keamanan dan kesejahteraan hidup, kebebasan berpendapat dan menentukan nasib
mereka sendiri sesuai dengan keinginan dan pilihan-pilihan yang diambil setiap
orang sebagai warga negara.
Dan apa yang dilakukan dan
diperjuangkan Munir memanglah lebih dari itu, ia menantang badai, ia memerangi
praktek-praktek politik dan kekuasaan yang memperalat hukum hanya sekedar alat
yang telah ditaklukkan untuk membenarkan dan melindungi
penyimpangan-penyimpangan, manipulasi, dan korupsi yang dilakukan oleh
orang-orang yang dilawannya. Ketika hukum dan undang-undang di negeri ini lebih
gandrung menghukum mereka yang tak bersalah dan membiarkan bromocorah berpesiar
ke negara-negara tetangga dan menyimpan uang-uang hasil korupsi mereka di
bank-bank ternama yang menjamin kerahasiaan dan privasi pemiliknya.
Di sini, persis dalam konteks
ini, Munir sendiri adalah korban, atau lebih tepatnya seorang warga negara yang
“dikorbankan”, justru di saat ia sendiri gigih memperjuangkan hak-hak asasi
orang-orang yang selama ini dikorbankan oleh hitungan-hitungan strategis dan
taktis kepentingan dan kekuasaan yang disebut birokrasi, korporasi, dan negara.
Di mana ia lebih dilihat sebagai duri dan kerikil dalam sepatu para jenderal,
para penguasa, dan para koruptor. Ketika kekuasaan memonopoli kekerasan hanya
untuk kesemena-menaan dan ditaklukkan hanya untuk melayani kepentingan tiranis
para politisi, para jenderal, korporat, dan penguasa yang zalim.
Lebih lanjut, sebagai
seorang aktivis politik dan pejuang HAM yang gigih dan tak kenal takut, Munir
ternyata berada dalam kekuasaan represif yang lebih berbahaya ketimbang yang
pernah dikritik dan dilawan oleh Vaclav Havel, contohnya. Munir berada dalam
sebuah perilaku politik yang aneh para pemegang kekuasaan yang memahami
kekuasaan dan politik hanya sebagai hak prerogatif orang-orang tertentu saja, sementara
warga negara atau publik biasa hanya dituntut patuh, bahkan diminta bungkam
dengan paksa meski terjadi kesemenaan dan ketidakadilan yang dialami
orang-orang “yang memang mudah disingkirkan dan ditindas” dengan alasan-alasan
stabilitas dan pembangunan. Persis dalam kadar inilah pada akhirnya Munir
adalah juga seorang pejuang kebebasan dalam artian yang sebenarnya, yang setia
memahami kebebasan sebagai hak warga negara untuk terbebas dari intimidasi dan
mendapatkan keadilan di hadapan hukum. Tetapi hukum sendiri telah dimanipulasi
dan dimandulkan oleh para mafioso yang memerankan diri mereka sebagai para
pengacara, hakim, birokrat, juri, gubernur, bupati, menteri, dan lain
sebagainya.
Kematian Munir bukan
berarti kematian semangat dan perjuangan yang diwariskannya kepada kita,
semangat dan cita-cita untuk terus-menerus mengupayakan ruang publik dari
dominasi yang berdampak pada kekerasan, pembungkaman, dan penyingkiran atas
yang lain, yang “differ dan alter”, perjuangan untuk mengupayakan dan memahami politik
sebagai jalan untuk meraih kehidupan yang baik bagi banyak orang, bagi warga
negara, seperti yang dicita-citakan Aristoteles, Hannah Arendt, Bertrand
Russel, Raymond Aron, dan yang kembali diwacanakan oleh Jurgen Habermas saat
ini. Sebuah perjuangan dan ikhtiar yang pada akhirnya bersifat politis
sekaligus etis untuk selalu waspada pada otoritas dan kekuasaan yang rentan
menjelma Leviathan dan tirani yang tak segan-segan melakukan praktek-praktek
penyingkiran, unilateralisme, dan pembungkaman.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar