Radar Banten, 26 Desember 2014
Dalam sejarah Islam, Islam Syi’ah maju pesat
dan pernah mengukir kegemilangan peradaban dan sains karena doktrinnya relevan
dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dalam hal ini, sains, kekuasaan dan
moralitas dalam ajaran Syi’ah merupakan satu kesatuan. Dalam sejarah peradaban
Islam, banyak ilmuwan, astronom, fisikawan, ahli kedokteran, ternyata penganut
Syi’ah Islam, semisal al Biruni, Ibnu Sina, dan lain sebagainya. Bahkan,
filsafat Islam berkembang dan bertahan berkat muslim Syi’ah. Sementara itu, di
abad modern kita ini, Einstein dalam makalah terakhirnya bertajuk Die Erklärung
(Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di Amerika Serikat dalam bahasa Jerman
menelaah teori relativitas lewat ayat-ayat Alquran dan ucapan Imam Ali bin Abi
Thalib (as) dalam kitab Nahjul Balaghah. Ia mengatakan, hadis-hadis dalam
Nahjul Balaghah tersebut memiliki muatan yang tidak ada di mazhab Islam yang
lain. Hanya mazhab Syi’ah yang memiliki hadis dari para Imam mereka yang memuat
teori kompleks seperti Relativitas. Belakangan memang dikabarkan bahwa Albert
Einstein adalah seorang penganut Islam Syi’ah. Sejumlah pihak pun mengutip
sebuah surat rahasia Albert Einstein, ilmuan Jerman penemu teori relativitas
itu, yang menunjukkan bahwa dirinya adalah penganut mazhab Islam tersebut.
Dalam reportase tersebut dinyatakan bahwa
Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah Al-Uzma Sayid Hossein
Boroujerdi, marji besar Syi’ah kala itu, menyatakan, “Setelah 40 kali menjalin
kontak surat-menyurat dengan Anda (Ayatullah Boroujerdi), kini saya menerima
agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam”. Einstein dalam suratnya itu menjelaskan
bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh agama-agama lain dan menyebutnya
sebagai agama yang paling sempurna dan rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh
dunia berusaha membuat saya kecewa terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka
tidak akan mampu melakukannya walau hanya dengan membersitkan setitik keraguan
kepada saya”.
Salah satu hadis yang menjadi sandaran Albert
Einstein itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang mikraj
jasmani Rasulullah saw. Disebutkan, “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau
kaki Nabi menyentuh sebuah bejana berisi air yang menyebabkan air tumpah.
Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman,
beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.” Einstein melihat
hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal harganya, karena menjelaskan
kemampuan keilmuan para Imam Syi’ah dalam relativitas waktu. Menurut Einstein,
formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik dengan formula
terkenal “relativitas materi dan energi”: E = M.C² >> M = E : C² yang
artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi, ia dapat kembali berujud
semula, hidup kembali.
Dalam suratnya kepada Ayatullah al Uzhma
Boroujerdi, sebagai penghormatan ia selalu menggunakan kata panggilan
“Boroujerdi Senior”, dan untuk menggembirakan ruh Prof. Hesabi (fisikawan dan
murid satu-satunya Einstein asal Iran), ia menggunakan kata “Hesabi yang
mulia”. Naskah asli risalah ini masih tersimpan dalam safety box rahasia London
(di bagian tempat penyimpanan Professor Ibrahim Mahdavi), dengan alasan
keamanan. Risalah ini dibeli oleh Professor Ibrahim Mahdavi (tinggal di London)
dengan bantuan salah satu anggota perusahaan pembuat mobil Benz seharga 3 juta
dolar dari seorang penjual barang antik Yahudi. Tulisan tangan Einstein di
semua halaman buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan oleh
para pakar manuskrip.
Sebagaimana kita tahu bersama, dunia sains
modern di awal abad ke-20 M pernah dibuat takjub oleh penemuan seorang ilmuwan
Jerman bernama Albert Einstein. Fisikawan ini pada 1905 memublikasikan teori
relativitas khusus (special relativity theory). Satu dasawarsa kemudian,
Einstein yang didaulat majalah Time sebagai tokoh abad XX itu mencetuskan teori
relativitas umum (general relativity theory). Teori relativitas itu
dirumuskannya sebagai E=MC2. Rumus teori relativitas yang begitu populer
menyatakan bahwa kecepatan cahaya adalah konstan. Selain itu, teori relativitas
khusus yang dilontarkan Einstein berkaitan dengan materi dan cahaya yang
bergerak dengan kecepatan sangat tinggi.
Sedangkan, teori relativitas umum menyatakan,
setiap benda bermassa menyebabkan ruang-waktu di sekitarnya melengkung (efek
geodetic wrap). Melalui kedua teori relativitas itu, Einstein menjelaskan bahwa
gelombang elektromagnetis tidak sesuai dengan teori gerakan Newton. Gelombang
elektromagnetis dibuktikan bergerak pada kecepatan yang konstan, tanpa
dipengaruhi gerakan sang pengamat. Singkatnya, inti pemikiran kedua teori
tersebut menyatakan, dua pengamat yang bergerak relatif akan mendapatkan waktu
dan interval ruang yang berbeda untuk kejadian yang sama. Meski begitu, isi
hukum fisika akan terlihat sama oleh keduanya. Dengan ditemukannya teori relativitas,
manusia bisa menjelaskan sifat-sifat materi dan struktur alam semesta.
“Pertama kali saya mendapatkan ide untuk
membangun teori relativitas, yaitu sekitar tahun 1905. Saya tidak dapat
mengatakan secara eksak dari mana ide semacam ini muncul. Namun, saya yakin,
ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang bergerak,” ungkap
Einstein saat menyampaikan kuliah umum di depan mahasiswa Kyoto Imperial
University pada 4 Desember 1922. Pertanyaannya adalah: Benarkah Einstein
pencetus teori relativitas pertama? Di Barat sendiri, ada yang meragukan teori
relativitas itu pertama kali ditemukan Einstein. Sebab, ada yang berpendapat
bahwa teori relativitas pertama kali diungkapkan oleh Galileo Galilei dalam
karyanya bertajuk Dialogue Concerning the World’s Two Chief Systems pada 1632.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Teori
relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Sejatinya,
1.100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, ilmuwan Muslim di
abad ke-9 M telah meletakkan dasar-dasar teori relativitas, yaitu saintis dan
filosof legendaris bernama Al Kindi yang mencetuskan teori itu. Dan tentu saja,
tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al Kindi telah mencetuskan teori
itu pada abad ke-9 M. Apalagi, ilmuwan kelahiran Kufah tahun 801 M itu pasti
sangat menguasai kitab suci Al Quran. Sebab, tak diragukan lagi bahwa ayat-ayat
Al Quran mengandung pengetahuan yang absolut dan selalu menjadi kunci tabir
misteri yang meliputi alam semesta raya ini.
Ayat-ayat Al Quran yang begitu menakjubkan
inilah yang mendorong para saintis Muslim di era keemasan mampu meletakkan
dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya serta pemikiran para saintis
Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditutup-tutupi. Dalam
Al Falsafa al Ula, misalnya, ilmuwan bernama lengkap Yusuf Ibnu Ishaq Al Kindi
itu telah mengungkapkan dasar-dasar teori relativitas. Sayangnya, sangat
sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga, hasil pemikiran yang brilian
dari era Islam itu seperti tenggelam ditelan zaman.
Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh
fenomena fisik adalah relatif. Relativitas, kata dia, adalah esensi dari hukum
eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak
absolut,” cetus Al Kindi. Namun, ilmuwan Barat, seperti Galileo, Descartes, dan
Newton, menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya
Einstein yang sepaham dengan Al Kindi. “Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda
dengan gerakan; gerakan dengan benda,” papar Al Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi
berkata, “… jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di
sana perlu gerakan.” Pernyataan Al Kindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena
fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak independen dan tak juga
absolut.
Gagasan yang dilontarkan Al Kindi itu sama
dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum. “Sebelum
teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu
adalah absolut,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, pendapat
yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes, dan Newton itu tak sesuai dengan
definisi waktu yang sebenarnya. Dan menurut Al-Kindi, benda, waktu, gerakan,
dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga ke objek
lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan
apa yang diungkapkan Einstein. Dalam Al Falsafa al Ula, Al Kindi mencontohkan,
seseorang melihat sebuah objek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar
menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas
langit, dia melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia bergerak ke bumi, dia
melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar. “Kita tak dapat mengatakan bahwa
sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi, kita dapat mengatakan
bahwa itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada objek yang lain,”
tutur Al Kindi. Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11 abad
setelah Al-Kindi wafat.
Menurut Einstein, tak ada hukum yang absolut
dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah hukum, papar dia,
harus dibuktikan melalui pengukuran. Al Kindi menyatakan, seluruh fenomena
fisik, seperti manusia menjadi dirinya, adalah relatif dan terbatas. Meski
setiap manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan, mereka terbatas;
waktu, gerakan, benda, dan ruang yang juga terbatas. Einstein lagi-lagi
mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-9 M.
“Eksistensi dunia ini terbatas meskipun eksistensi tak terbatas,” papar Einstein.
Dengan teori itu, Al Kindi tak hanya mencoba
menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia membuktikan eksistensi
Tuhan. Karena, itu adalah konsekuensi logis dari teorinya. Di akhir hayatnya,
Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori relativitas yang diungkapkan kedua
ilmuwan berbeda zaman itu pada dasarnya sama. Namun, penjelasan Einstein telah
dibuktikan dengan sangat teliti. Bahkan, teori relativitasnya telah digunakan
untuk pengembangan energi, bom atom, dan senjata nuklir pemusnah massal.
Sedangkan, Al Kindi mengungkapkan teorinya untuk membuktikan eksistensi Tuhan
dan keesaan-Nya. Sayangnya, pemikiran cemerlang sang saintis Muslim tentang
teori relativitas itu itu tak banyak diketahui. Sungguh sangat ironis, memang
Alam semesta raya ini
selalu diselimuti misteri. Kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada umat
manusia merupakan kuncinya. Allah SWT telah menjanjikan bahwa Al Quran merupakan
petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakwa. Untuk membuka selimut misteri
alam semesta itu, Sang Khalik memerintahkan manusia agar berpikir. Bukankah
banyak seruan dalam al Qur’an agar yang membacanya berpikir, mengambil ibrah
dan hikmah, menjadi seorang peneliti dan pembelajar?
Dan berikut ini adalah
beberapa ayat Al Quran yang membuktikan teori relativitas itu: “Sesungguhnya,
sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.”
(QS Alhajj: 47). “Dia mengatur urusan langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepadanya-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu.” (QS Assajdah: 5). “Yang datang dari Allah, yang
mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS 70: 3-4).
“Dan, kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya.
Padahal, ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS Annaml: 88). “Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lamanya
kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau
setengah hari. Maka, tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah
berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu
sesungguhnya mengetahui’.” (QS 23: 122-114).
Karena kebenaran Al
Quran itu, konon di akhir hayatnya, Albert Einsten secara diam-diam juga telah
memeluk agama Islam dan menjatuhkan pilihan intelektual dan khazanahnya pada
Syi’ah Islam (Syi’ah Imamiah Itsna Asyariyah). Dalam sebuah tulisan, Albert Einstein
mengakui kebenaran Al Quran. “Alquran bukanlah buku seperti aljabar atau
geometri. Namun, Al Quran adalah kumpulan aturan yang menuntun umat manusia ke
jalan yang benar. Jalan yang tak dapat ditolak para filosof besar”.
Sementara itu, jauh
sebelum Albert Einstein, Al Kindi atau Al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang
hidup di era kejayaan Islam Baghdad, merupakan pioneer dalam bidang teori dan
filsafat relativitas waktu ini. Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai
berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib
kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang
kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa,
seperti Yunani. Ketika Khalifah Al Ma’mun tutup usia dan digantikan putranya,
Al-Mu’tasim, posisi Al Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang
besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al Kindi mampu
menghidupkan paham Mu’tazilah yang rasional. Berkat peran Al Kindi pula, paham
yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Menurut Al Nadhim,
selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitul Hikmah, Al Kindi
telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah
dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya
yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al Kindi adalah seorang yang berilmu
pengetahuan yang luas dan dalam. Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai
bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri,
medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang
paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran
masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12
judul. Dikabarkan pula bahwa Albert Einstein pun membaca karya-karya Geometri
Al Kindi, sang fisluf dan ilmuwan mu’tazili awal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar