Banten Raya, 12 Desember 2014
Jika
ada orang-orang yang sangat terikat dan mencintai kampung halaman atau tanah
kelahirannya, salah-satu orang itu pastilah termasuk saya. Kampung halaman bagi
saya tak sekedar ruang meja baca di mana saya menyendiri, menulis, dan membaca,
atau sebuah “rumah” tempat saya tidur dan makan. Lebih dari itu, kampung
halaman atau tanah kelahiran bagi saya adalah ingatan dan kenangan. Kampung
halaman atau tanah kelahiran saya menyatu dengan bathin saya, karena saya
mengalami “kepedihan” dalam kesahajaan dan keterbatasan kami sebagai
orang-orang desa yang terbatas. Sebagai manusia-manusia yang akrab dengan apa
yang hanya diberikan oleh alam yang belum disentuh oleh kecanggihan tekhnologi
dan perangkat-perangkat informasi mutakhir ketika itu.
Di
belakang rumah, setidak-tidaknya saat saya masih kanak-kanak, dalam jarak
beberapa meter melewati pematang-pematang sawah, mengalir sungai Ciujung yang
di tepiannya berbaris pepohonan dan tanaman-tanaman lainnya. Sementara di depan
rumah, mengalir sungai irigasi, sungai yang dibuat demi mengalirkan limpahan
air sungai Ciujung untuk mengairi sawah-sawah di jaman kolonial Hindia Belanda,
dan kemudian diteruskan perawatan dan perbaikannya di jaman Orde Baru. Dua
sungai tersebut merupakan “kehidupan” kami yang bekerja dan menggantungkan
kebutuhan kesehariannya dari bertani. Dari dua sungai itulah kami mengairi
sawah-sawah kami, selain tentu saja dari anugerah hujan di musim hujan. Bersama
dua sungai dan sawah-sawah di sekitarnya itulah saya akrab dan hidup bersama
mereka.
Namun
tentu saja, keadaannya tidak sama dengan sekarang. Ketika itu, bila malam tiba,
atau saat adzan berkumandang yang dikumandangkan dengan menggunakan speaker
bertenaga accu, kami akan mulai menyalakan lampu-lampu damar kami yang
menggunakan bahan bakar minyak tanah atau minyak kelapa. Sebelum kehadiran
tiang-tiang beton dan baja seperti saat ini untuk menyalurkan kabel-kabel
listrik di setiap kampung, jalan di depan rumah begitu sepi bila magrib tiba,
lebih mirip terowongan gelap karena barisan pohon-pohon lebat yang tumbuh kokoh
dan rimbun di tepi sungai dan sepanjang jalannya.
Di
masa-masa silam, Sungai Ciujung tentulah sebuah anugerah dan keajaiban bagi
Banten. Selain merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Banten, Ciujung tak
ubahnya nyawa bagi masyarakat yang dilintasi oleh aliran airnya, yang memang
melintas sedari Gunung Kendeng di Lebak hingga ujung utara Serang. Airnya yang
mengalir jernih ketika itu memberikan kesuburan dan produktivitas bagi
pertanian –sekaligus memenuhi kebutuhan rumah tangga bagi hidup keseharian para
penduduk dan masyarakat yang dilalui aliran airnya. Tentu saja, ia juga
memberikan keindahan bagi yang ingin mendekati dan memandanginya. Saat itu, ada
banyak unggas atau pun burung-burung yang bercengkerama dan singgah di aliran airnya
atau berkerumun di pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang tepinya.
Masyarakat
tradisional Baduy –alias Urang Kanekes, yang hidup di kawasan Leuwidamar dan
Gunung Kendeng, Lebak, bahkan menganggapnya sebagai salah satu sungai sakral di
Banten, dan menyebutnya sebagai “Sasaka Buana”. Masyarakat Baduy, yang memang
memegang kearifan tradisional mereka, juga percaya bahwa pengrusakan lingkungan
akan menyebabkan petaka atau dampak buruk bagi manusia. Dan apa yang mereka
percaya itu, kini menjadi kenyataan, ketika air Sungai Ciujung telah menghitam
kental dan menyebarkan aroma tak sedap, alias tidak sejernih dan sewangi dulu
lagi.
Namun
bukan hanya kehadiran industri, yang salah-satunya adalah kehadiran pabrik
kertas di Kecamatan Kragilan, Serang, yang menyebabkan airnya menghitam dan
acapkali menyebarkan aroma tak sedap, ketika angin yang datang dari arahnya
berhembus ke arah hidung kita, karena limbah yang dibuang ke Sungai Ciujung
oleh pabrik tersebut. Pencemaran Sungai Ciujung juga disebabkan oleh sampah-sampah
rumah tangga yang dibuang oleh para penduduk dan masyarakat yang tinggal di
sepanjang bantaran Sungai Ciujung, yang tak kalah mengkhawatirkannya dengan
yang disebabkan oleh limbah industri yang ada di kawasan Serang Timur tersebut.
Keadaan
itu tentu saja sangat berdampak buruk bagi lingkungan (tanah, lahan, dan
pohon), serta masyarakat yang dilintasi oleh aliran airnya, terutama bagi
penduduk dan masyarakat yang tinggal di sepanjang Serang Timur hingga Serang
Utara, alias mereka yang tinggal di hilirnya. Pendeknya, Sungai Ciujung yang
dulu merupakan berkah dan keajaiban bagi Banten, kini telah menjelma kutuk dan
sumber penyakit bagi masyarakat dan penduduk yang disinggahi aliran airnya,
serta mengirimkan racun bagi lahan dan tumbuhan yang ada di sekitarnya, atau
yang dilintasi oleh aliran airnya yang tak lagi jernih, alami, dan sehat
seperti dulu itu.
Keadaan
tersebut, tentu saja sangat berbeda dengan kondisi Sungai Ciujung sekira 15
atau 20-an tahun silam. Sekarang, Sungai Ciujung yang dulu merupakan berkah
alamiah dan keajaiban bagi para petani dan nelayan, itu telah menjelma sungai
yang tidak sehat yang akan menimbulkan penyakit bagi penduduk dan membunuh
produktivitas lahan-lahan pertanian. Masyarakat tak lagi dapat menggunakan
airnya untuk kebutuhan mengairi sawah dan tanaman-tanaman ladang mereka.
Apalagi untuk keperluan mandi dan kebutuhan air rumah tangga lainnya, terutama
sekali bagi mereka yang tinggal di hilir sungai terpanjang dan terbesar di
Banten ini.
Selain
telah tercemar karena limbah rumah tangga para penduduk yang tinggal di hulu
sungai dan limbah industri yang ada di kawasan Serang Timur, debit air Sungai
Ciujung juga mengalami penurunan yang signifikan dan mendekati taraf
mengkhawatirkan. Salah-satu penyebabnya adalah mulai berubahnya sejumlah hutan
di hulu sungai menjadi lahan pertanian dan perkebunan, dan juga beberapa
kegiatan pertambangan pasir dan batu-bara. Fakta tersebut, tak pelak lagi,
mesti menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah, baik pemerintah provinsi
atau pun pemerintah kabupaten/kota, jika kita tidak ingin tanah Banten menjelma
neraka di bumi dan sumber petaka bagi kita.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar