Radar Banten, 24 Juli 2014
Saat itu, di sebuah
penjara, seorang lelaki paruh baya bertingkahlaku laiknya orang gila, tertawa,
berteriak-teriak, atau menangis sendiri. Di hari lain, ia pun akan
bertingkahlaku tak keruan, laiknya orang yang teramat begitu girang atau
seperti seseorang yang tengah kesurupan. Sejak saat itu pula, sipir penjara
percaya lelaki itu memang benar-benar gila seperti yang dikatakan beberapa
orang. Lelaki paruh baya itu tak lain adalah Ibnu Haitham, yang biasa disebut
atau dipanggil Al Hazen oleh orang-orang Barat, sang pioneer ilmu optik dan
teori cahaya.
Revolusi Sains dari Sel
Penjara
Dan suatu hari, ia begitu
serius dan tekun mengamati seberkas sinar yang menerobos ke ruang selnya lewat
sebuah lubang dinding di penjara itu. Cahaya yang tengah diamatinya itu memang
membentuk berkas sinar bersama molekul-molekul debu yang mengembang. Cahaya
yang tekun dan serius diamatinya itu memang membentuk kerucut yang menempel di
tembok yang berhadapan dengan lubang dinding sebagai jalan merembesnya cahaya
dari luar. Dan yang membuat cahaya itu menjadi istimewa bagi sang filsuf yang
tengah mendekam di penjara itu tak lain karena cahaya itu tampak semakin meluas
hingga membentuk lingkaran yang menempel di tembok. Pada moment lainnya, lubang
yang memindahkan sinar kerucut itu juga memindahkan semua yang melintas di
jalanan menjadi bayangan yang terbalik.
Tak ayal lagi, ia pun
berteriak girang: “Aku telah menemukannya! Aku telah menemukannya!” Tetapi
tentu saja para sipir dan orang-orang lain di penjara itu hanya menganggap
dirinya sebagai orang gila. Meski teriakan lelaki paruh baya yang bernama Ibnu
Haitham itu adalah teriakan yang akan dikenal sebagai revolusi sains di dunia:
teori optik dan cahaya yang telah mementahkan teori-nya Euclid dan Ptolomeus.
Sejak saat itulah, lelaki
yang kelak populer di Barat dengan nama Al Hazen itu secara rutin mengamati dan
merenungkan fenomena cahaya yang senantiasa singgah di ruang sel dan dinding
penjaranya itu. Seakan-akan keberadaan dirinya sendiri di sel tersebut memang
merupakan takdir dan kehendak Tuhan. Dengan disiplin matematika dan fisika yang
telah ia kuasai dengan sangat baik sebelum ia dipenjara itu, ia selalu mencatat
setiap detil yang nantinya akan menguatkan argumen dan dalil teoritik temuannya
tersebut.
Demikianlah, di kemudian
hari, dengan temuan dan teorinya yang ia temukan dan ia matangkan di dalam sel
tahanan itu, ia mampu menjelaskan secara tepat tentang bagaimana mata dapat
melihat, sebuah temuan dan teori optik yang saat ini kita kenal. Teori dan
temuan lelaki paruh baya di dalam sel tahanannya yang kemudian di Barat dikenal
dengan sebutan Al Hazen itu menyatakan bahwa kita dapat melihat karena pantulan
sinar benda, membantah teori Euclid dan Ptolomeus yang menyatakan bahwa suatu
objek atau benda dapat dilihat oleh mata karena mata mengirim sinarnya ke
sebuah benda atau objek.
Berbeda dengan Euclid dan
Ptolomeus, Ibnu Haitham menyatakan bahwa kemampuan mata dapat melihat sesuatu
atau objek di luarnya karena cahaya yang dipantulkan objek atau benda tersebut
diproyeksikan pada kornea mata dan lalu diteruskan sampai retina dalam keadaan
terbalik. Gambar yang terbalik itu kemudian ditangkap oleh sel-sel syaraf
retina mata dan dikirim ke otak. Demikianlah, dalam teori optik Al Hazen atau
Ibnu Haitham, gambar terbalik tersebut diproses oleh otak hingga tegak kembali
seperti adanya. Dan itulah proses penglihatan oleh mata kita. Singkatnya, revolusi
sains dan fisika ditemukan oleh seorang lelaki paruh baya di dalam sebuah sel
tahanan, saat para sipir dan sesama tahanan lainnya menganggap ia gila.
Arsitek dan Ilmuwan Bersahaja
Meski dikenal hanya dengan
sebutan Ibnu Haitham dan Al Hazen, nama lengkap lelaki paruh baya yang tetap
menjadi ilmuwan di penjara itu adalah Abu Ali al Hasan Bin al Hasan Bin al
Haitham Bin al Bashri al Mishri. Seorang lelaki yang lahir di Bashra, Irak,
pada tahun 965 Masehi. Namun tak banyak yang tahu, sejak mudanya hingga masa-masa
selanjutnya, ia adalah juga seorang arsitek ulung, hingga membuat kagum sang
walikota Bashra ketika itu, yang memang berniat membangun sebuah istana megah.
Saat itulah, ia tak hanya ditunjuk oleh sang walikota sebagai arsiteknya, tapi
juga sebagai pimpinan proyeknya.
Menanggapi keinginan sang
walikota itu, ia berkata terus-terang: “Tuan walikota, saya hanya seorang
arsitek yang tugasnya hanya membuat design. Sementara untuk menangani
bangunannya secara keseluruhan adalah tugas kontraktor dan pemborong.” Tapi
entah kenapa, mendengar jawaban Ibnu Haitham itu, sang walikota Bashra yang
dikenal arogan itu tersinggung dan menganggap Ibnu Haitham sang ilmuwan yang
jujur dan bersahaja itu sebagai ilmuwan dan arsitek yang angkuh dan sombong.
Karena kejadian itu, ia merasa tak nyaman hidup di Bashra, dan lalu ia pun
pindah ke Baghdad ditemani dua asistenya: Raihan dan Adnan. Di kota itu ia
bekerja sebagai pembuat bibliografi atau mencatat kode-kode buku untuk
perpusatakaan. Tak cuma itu saja, di kota Baghdad itu ia pun menerjemahkan
buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Hanya saja, setelah ia
tahu bahwa mata-mata walikota Bashra terus menguntitnya, ia pun hijrah ke Syam
(Damaskus). Adalah sebuah kebetulan yang membuatnya gembira bukan kepalang,
walikota Syam sangat menggandrungi ilmu pengetahuan, dan segera mengagumi
kemahiran Ibnu Haitham, hingga sang walikota itu akan segera membaca setiap
buku yang baru selesai ditulis oleh Ibnu Haitham, dan setelah itu menyimpannya
di perpustakaan pribadinya. Namun ketika sang walikota itu menggajinya terlalu
besar, Ibnu Haitham tak segan-segan mengembalikannya kepada sang walikota.
“Biarlah saya mengambil empat dinar saja, tuan walikota.” Demikian suatu ketika
Ibnu Haitham mengembalikan uang dari sang walikota yang baginya terlalu besar
yang menurutnya dapat mengalihkan kecintaannya pada sains, kali ini dengan
ucapan dan cara yang lebih diplomatis, belajar dari kesalahannya di Bashra yang
membuat walikota di kota yang ia tinggalkan itu marah kepadanya.
Penemu Bendungan
Sejak tinggal di Syam
itulah, namanya sebagai seorang ahli dan seorang ilmuwan mulai menyebar ke
negeri-negeri lain, hingga khalifah Mesir ketika itu, al Hakim Bin Amrillah,
meminta dan mengundangnya untuk mengatasi bencana yang acapkali menimpa Mesir,
terutama bencana akibat musim hujan dan kemarau, di mana saat banjir banyak
yang tergusur karena bah, sementara kemarau seringkali membuat Mesir tertimpa
kekeringan dan kelaparan.
Menerima undangan dan
permintaan pengusa Mesir itu, ia dengan tekun dan serius mempelajari peta
geografis dan topografis Mesir selama berhari-hari. Dan setelah itu, sebuah
kesimpulan yang tepat dan genuine telah ia dapatkan: Mesir membuang secara
sia-sia anugerah air saat musim hujan yang akan berguna sewaktu musim kemarau.
“Bendungan! Itulah jalan keluarnya!” Teriaknya girang. Setelah itulah, gagasan
dan konstruksi bendungan menjadi dikenal luas dan dipraktekkan di
wilayah-wilayah yang ada dalam administrasi dan kekuasaan pemerintahan
kekhalifahan Islam, termasuk di Peninsula Iberica atau yang kini kita kenal
dengan Spanyol dan sekitarnya itu.
Sulaiman Djaya
Iran Military
Tidak ada komentar:
Posting Komentar