Minggu, 12 Juli 2015

Dasar Teologis dan Argumen Rasional Wilayatul Faqih




Wilayatul faqih adalah niyabah (pemegang wewenang sementara) Imam Mahdi afs dalam memimpin Umat Islam dan menegakkan hukum Allah swt yang merupakan mandat dari beliau afs. Wilayatul faqih merupakan pancaran cahaya, sinaran inti bintang dan ranting dari dahan pohon suci beliau afs.

Al-Wilayah, Perlindungan
Harus diketahui bahwa agama menetapkan wilayah (otoritas atau kekuasaan untuk mengatur, memerintah dan melarang) sebagian orang atas sebagian yang lain adalah untuk menjaga orang yang berada didalam naungan wilayah tersebut. Misalnya, wilayah (perwalian) seorang ayah atas anaknya yang masih kecil, perwalian seorang ayah dalam menikahkan anak gadisnya dan seterusnya.

Wilayatul faqih berfungsi menjaga kepentingan umum dan melindungi masyarakat dari penyimpangan, kerusakan dan lain-lain. Wilayah terikat untuk menjaga kepentingan orang yang berada di naungan perwalian, sang wakil tidak berhak mengatur berdasarkan hawa nafsu, kepentingan dan hasrat pribadinya.

Argumentasi Pertama
Wilayatul faqih pada masa kegaiban imam Mahdi afs didukung beberapa argumen berikut ini:
Argumen rasional yang tersusun dari pendahuluan berikut.

Akal menghukumi bahwa harus ada undang-undang bagi masyarakat manusia ini. Hal ini dikarenakan manusia yang merupakan makhluk sosial membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta berbagai urusan hidupnya agar tidak terjadi pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara manusia.

Undang-undang tersebut mustahil terlaksana sendirinya. Harus ada sosok pelaku yang dapat menjamin pelaksanaan, penegakan serta penerapannya secara sempurna. Hal ini senada dengan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib (as) ketika beliau menjawab slogan khawarij ‘tiada hukum kecuali hukum Allah’ dimana beliau (as) berkata, ‘Kalimat itu benar. Namun ditujukan untuk kebatilan. Benar, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Akan tetapi mereka hendak mengatakan ‘tidak ada pemerintahan kecuali pemerintahan Allah’ padahal pada hakikatnya manusia harus memiliki pemimpin…’ (Nahjul Balaghah, khutbah ke-40).

Berpegang pada pendahuluan di atas, dapat kita katakan bahwa undang-undang yang paling tepat untuk diterapkan terhadap manusia adalah undang-undang ilahi yang disampaikan Nabi Muhammad saww. Undang-undang inilah yang tersempurna, terlengkap, yang meliputi segenap hudud (batas-batas agama) dan ahkam (hukum-hukum) yang terkandung di dalamnya. Juga, dapat kita katakan bahwa seorang penegak hukum yang mengemban misi dan tanggung jawab  untuk melaksanakan dan menerapkan undang-undang harus memiliki sifat-sifat:

Al-ilmu at-tam (berpengetahuan lengkap) tentang undang-undang. Dalam artian, dia haruslah seorang faqih (pakar ilmu Islam)  yang benar-benar mengamalkan ilmunya.

Al-hasanah al-akhlaqiyyah (keterjagaan secara moral). Syarat wajib tegaknya undang-undang ilahiah adalah sang penegak hukum haruslah berada di kondisi tertinggi dari sifat al-‘adalah (keadilan), al-wara’ (keterjauhan dari dosa, maksiat ataupun syubhat) dan at-taqwa (ketakwaan). Ini disebabkan karena undang-undang ilahiah merupakan amanat teragung yang mesti dijalankan secara sempurna.

Al-kaafah al-idariyyah (berkemampuan mengatur). Mengemban tanggung-jawab ini menuntut banyak keahlian serta pengalaman manajerial, sosial, politik,  dan seterusnya yang sangat berperan penting bagi tercapainya tujuan undang-undang secara sempurna.

Jika Allah telah menetapkan seseorang untuk menegakkan pemerintahan dan menunjuknya untuk mengemban tanggung jawab ini, maka setiap manusia wajib mematuhi perintahnya serta merujuk kepadanya. Allah swt tidak menitipkan tanggung jawab dan amanat besar ini kecuali pada orang yang berjiwa suci, berakal sempurna dan berniat tulus. Lalu, Dia membebankan amanat kepadanya dan menjaganya dengan wahyu. Sebagaimana para nabi dan rasul serta para imam ahlulbait as. Allah telah memerintahkan umat manusia untuk mematuhi, berpegang teguh dan berwilayah kepada mereka (menjadikan mereka pemimpin).

Namun, sebagaimana yang kita tahu, Imam Mahdi afs mengalami kegaiban. Jika kita berpendapat bahwa tak ada nash yang menjelaskan para imam suci telah menetapkan seseorang sebagai pemegang amanat kepemimpinannya (wakilnya), maka akan terdapat tiga kemungkinan sebagai berikut:

[1] Imam membiarkan  manusia hidup tanpa wali (pemimpin) dan penegak hukum. Hal ini mustahil terwujud. Karena ini bertentangan dengan prinsip dakwah para nabi dan juga dengan pendahuluan di atas. Tidak ada akal yang dapat menerima kemungkinan ini.

[2] Imam membuka peluang bagi siapapun untuk mengendalikan pemerintahan sementara tanpa mempertimbangkan al-faqahah (pengetahuan mendalam) dan al-‘adalah (sifat adil) serta tanpa syarat apapun. Kemungkinan ini juga harus ditolak. Karena jika seorang wali itu tidak memahami Islam secara mendalam, tidak memiliki sifat adil, maka keinginan Allah dalam kehidupan manusia, penerapan hukum ilahi, penegakan batas-batasnya dan terbangunnya pilar keadilan tidak mungkin terjadi.

[3] Imam mendelegasikan kekuasaan pada seorang faqih yang memahami syariat beserta hukum dan batasan-batasannya, bersikap adil, taqwa, wara’, benar-benar menghayati perintah Allah dan mampu menegakkannya, sangat ahli dalam berpolitik dan seterusnya. Kemungkinan ini yang justru menjadi kriteria pemimpin yang diharapkan. Dan hanya kemungkinan ini yang dapat diterima.

Argumentasi Kedua
Bisa dikatakan, kemutlakan seluruh argumen dan nash yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang terkait dengan sistem umum, al-hudud, al-qadha’ (keputusan yuridis), jihad dan sebagainya menunjukkan bahwa syariat mengharuskan adanya wilayatul amr (otoritas memimpin) di setiap masa. Jika tidak demikian, maka syariat hanya terbatas pada masa hidup imam ma’shum. Akibatnya, syariat mesti ‘diliburkan’ pada masa kegaiban imam. Padahal, kita berkeyakinan bahwa tidak boleh ada hukum ilahi yang dikesampingkan atau diliburkan.

Di sisi lain, penguasa tiran yang jahat tidak mungkin menghantarkan manusia pada tujuan tersebut. Sebab, terdapat larangan untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin dan ketidak-bolehan memberikan dukungan kepada mereka. Imam Husain as meriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, ‘‘Barangsiapa melihat penguasa jahat menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar perintah Allah, menentang sunnah Rasulullah saww dan memperlakukan hamba-hamba Allah dengan cara-cara dosa dan permusuhan, kemudian tidak berupaya merubah kondisi itu dengan pernyataan dan tindakan, maka Allah layak memasukkannya ke dalam neraka.’’

Ini saja, sebenarnya, sudah cukup membuktikan wilayatul faqih (otoritas kepemimpinan seorang faqih). Argumen-argumen kewajiban amr ma’ruf dan nahi munkar juga memberikan bukti nyata mesti adanya wilayatul faqih. Ya, kebaikan apakah yang lebih bernilai dari menegakkan syariat dan batasan-batasan agama, menjaga hak, darah dan kehormatan, serta mengibarkan Panji Islam dengan penuh kemuliaan? Hal-hal di atas merupakan buah dari tegaknya Pemerintahan Islam dan wilayatul faqih.

Untuk menutup pembahasan ini, kami sebutkan sebuah nash yang merupakan argumen pendukung dan kemestian wilayatul faqih di masa keghaiban (Imam Mahdi afs).

Surat  Ishaq bin Ya’qub yang menuturkan sebagai berikut. Saya meminta Muhammad bin Utsman al-Amri (wakil khusus Imam Mahdi afs) agar mengantarkan surat saya yang berisi pertanyaan mengenai beberapa persolan. Kemudian, saya mendapat surat balasan bertanda tangan Imam Mahdi-jiwa kita rela berkorban demi debu yang menempel di kaki beliau- yang menyatakan, ‘…Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslim, maka kembalikanlah kepada para periwayat hadits kami. Karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah atas mereka(Kamaluddin, hal 484).

Dari segi argumentasi, riwayat ini sangat jelas. Sebab, yang dimaksud dengan ‘peristiwa-peristiwa yang terjadi’ adalah peristiwa yang biasanya orang-orang mengacu pada pemimpin dan pembesar mereka, dan yang mereka lakukan itu bukan sekedar untuk mengetahui hukum-hukum fiqih saja. Inilah yang telah berlaku umum di kalangan mereka. Sementara, yang dimaksud dengan ‘para perawi hadits’ bukanlah sekedar orang yang meriwayatkan sabda dan riwayat, namun juga fuqaha, yaitu orang-orang ynag meriwayatkan hadits, menerapkannya, dan menyimpulkan hukum darinya. Pernyataan imam Mahdi afs, ‘karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah,’ menunjukkan kesamaan argumentasi. Sebagaimana diketahui, keberadaan, hidup dan perbuatan imam ma’shum merupakan hujjah. Merekalah hujjah-hujjah Allah bagi umat manusia.

Dari pembahasan ini, kita bisa pahami bahwa wilayatul faqih adalah sebuah konsep yang memang harus diterapkan oleh mereka yang ingin selalu berada dalam wilayah Allah, Nabi-Nya, dan para washi Nabi-Nya. ‘Yang paling berhak di antara semua manusia untuk urusan ini (kepemimpinan) adalah yang mampu di antara mereka untuk menegakkannya dan paling mengetahui perintah-perintah Allah tentang itu(Imam Ali bin Abi Thalib as dalam Nahjul Balaghah,  khutbah ke 173). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar