Kamis, 07 Mei 2015

Diskursus Postmodernisme (Bagian Kedua)




Filsafat, Psikologi, dan Psikiatri: Nietzsche, Rorty, dan Teori Freudian
Memperbincangkan kelahiran teori sosial postmodern tidak bisa dilepaskan dari bidang-bidang seperti filsafat, psikologi dan psikiatri. Akan tetapi membahas seluruh keanekaragaman dari bidang-bidang tersebut dalam tulisan ini jelas tidak mungkin. Maka di sini perbincangan akan difokuskan pada sejumlah pemikir tertentu seperti Nietzsche, Rorty dan Freud.

Friedrich Nietzsche
Mulanya Nietzsche adalah seorang filsuf yang tidak begitu mendapat perhatian dalam disiplin teori sosiologi maupun teori sosial. Namun hal tersebut segera berubah begitu pemikiran-pemikiran Nietzsche menempati posisi sentral dalam post-strukturalisme serta postmodernisme. Tentu merupakan suatu kesulitan untuk menampilkan secara ringkas sumbangan pemikiran Nietzsche dalam hal tersebut karena watak teks-teks Nietzsche yang fragmented, kontradiktoris, dan “terbuka”. Hal tersebut tak dapat dipungkiri mendatangkan pelbagai penafsiran yang berbeda [Antonio, 1995:5]. Baru-baru ini Robert J. Antonio [1995] telah membuat ringkasan atas gagasan-gagasan Nietzsche yang relevan secara sosial serta gagasan-gagasannya yang punya dampak terhadap post-strukturalisme dan postmodernisme.

Perhatian utama Antonio adalah bahwa Nietzsche, berlawanan dengan sebagian besar teori sosiologi klasik, menawarkan suatu bentuk “anti-sosiologi”. Nietzsche menilai apa yang oleh para teoritikus sosiologi klasik dianggap sebagai kemajuan –yakni pencerahan dan kebebasan sebagai sebentuk dekadensi, keletihan dan cara hidup yang terlalu teratur. Anti-sosiologi Nietzsche juga tampil dalam bentuk chaotic dan aforistik, berbeda dengan model narasi besar yang sistematik yang diproduksi oleh para pemikir modernis.

Nietzsche mengambil dua asumsi dasar dari teori sosial modern dalam penolakannya terhadap gagasan akan “subyek rasional”. Hal tersebut menandakan: Pertama, Nietzsche menolak memberikan perhatian serta evaluasi positif atas akal budi, rasionalitas serta proses rasionalisasi. Sebaliknya, Nietzsche memuji kekuatan-kekuatan non-rasional dan irasionalitas serta menyalahkan proses rasionalisai yang dianggapnya melemahkan semangat. Kedua, Nietzsche menolak memfokuskan diri pada pembahasan soal-soal subyektivitas, jiwa dan pikran yang selama ini menjadi fokus utama teori-teori modern. Sebaliknya, Nietzsche memfokuskan perhatiannya pada soal tubuh, fisiologi dan semacamnya. Impuls-impuls non-rasional yang dikontrol dan ditekan oleh masyarakat rasional berasal dari tubuh. Maka kekuatan-kekuatan tersebut mesti diekspressikan, meskipun dalam sebuah cara yang bersifat rohaniah.

Konsep kunci dalam karya Nietzsche, yakni ressentiment, oleh Antonio [1995: 7] didefinisikan sebagai suatu “keinginan kaum lemah untuk membuat penderitaannya menjadi lebih bermakna lewat cara menyalahkan pihak lain serta menempuh ‘balas-dendam imajiner’.” Obyek utama yang dipersalahkan oleh kaum lemah ini –yang juga menjadi obyek kontrol sebagian besar masyarakat tak lain adalah mereka yang kuat, mereka yang emosinya tidak pernah bisa dihalangi dan didomestifikasi. Karena orang-orang kuat disub-ordinasi, maka sebagai akibatnya dunia dikuasai oleh para budak dan moralitas kerdil mereka. Dalam pandangan Nietzsche, Socrates, Katolikisme, Protestantisme serta Pencerahan bertanggung-jawab atas moralitas budak ini dan penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Mereka yang dikarunia mentalitas budak cenderung terombang-ambing dan oleh karenanya sering berperilaku menyedihkan dan mengidap prasangka-prasangka.

Kekuatan ini tidak hanya memperlemah orang kuat tetapi juga kebudayaan secara luas. Negara menguasai kebudayaan dan mejadi locus ressentimen. Nietzsche tidak melihat revolusi sosialis sebagai solusi atas masalah ini. Dia merasa bahwa hal itu justru semakin memperkuatnya. Selain menentang sosialisme, Nietzsche juga tidak mendukung kapitalisme, karena baginya kapitalisme dianggap sebagai sebentuk perlawanan terhadap kemajuan kebudayaan serta individu-individu yang tangguh. Mereka yang ambil bagian dalam perekonomian kapitalis direduksi menjadi “semut-semut industri” sementara negara kapitalis dilengkapi dengan “meluasnya pangsa pasar” [Antonio, 1995:5]. Kemudian, “egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme mereduksi segala sesuatu ke common denominator yang paling rendah, yang mana hal itu mempengaruhi terjadinya keletihan budaya. Akhirnya, semua kekhasan individual dan juga kekhasan kebudayaan tersingkir.

Jelaslah bahwa Nietzsche memuji mereka yang mampu menghindar dari kekuatan-kekuatan opresif tersebut –yang disebutnya sebagai “individu-individu yang berdaulat”. Menurut Nietzsche, orang-orang macam ini adalah individu-individu yang unik, yang mengandalkan inteligensi tubuh dan insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-aturan dan harapan. Melalui penipuan dan penguasaan diri, mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan penyeragam (homogenizing forces) yang ada di masyarakat.

Nietzsche sangat menghargai kebudayaan dengan segala “kehendak untuk menipu” (will to deception) yang ada di dalamnya ketimbang pengetahuan dan “kehendak akan kebenaran”-nya (will to truth). Pengetahuan dikaitkan dengan rasionalitas dan askesitisme, sedangkan kebudayaan dikaitkan dengan irasionalitas dan permainan yang tidak menghambat. Kebudayaan dan estetika berkaitan dengan kebebasan yang lebih besar, lebih dari sekedar individualitas, kegembiraan yang lebih besar dan kelucuan kanak-kanak. Nietzsche mendambakan dunia dimana kebudayaan menjadi sesuatu yang dominan dan pemimpin dari kebudayaan itu adalah individu-individu berdaulat yang memiliki “kekuatan yang diperlukan, kreativitas dan tiada hambatan, dapat menghadapi segala macam provokasi dan hasutan, chauvinisme, penjilatan dan kekerasan” [Antonio, 1995:20]. Namun, para pemimpin harus hati-hati untuk menghindari moralisme berlebihan dan mengembangkan sebuah obsesi dengan kontrol.

Antonio menunjukkan bahwa kompleks Nietzsche dan gagasan-gagasannya yang sering kontradiktoris memiliki signifikansi terhadap perkembangan teori sosial postmodern –khususnya Weber, terhadap para pemikir sayap kiri, teoritikus sayap kanan dan terhadap kaum postmodernis. Secara singkat Antonio menjelaskan pengaruh Nietzsche terhadap pemikiran beberapa pemikir yang akan di-dalami, seperti Foucault, Derrida dan Baudrillard. Secara lebih umum, “tema-tema Nietzschean punya kekuatan menembus –kaum postmodernis biasanya mencintai gaya ekspresi yang estetis, saling bertentangan, terpecah-pecah dan selalu berubah ketimbang representasi konvensional. Mereka juga mencintai pengetahuan yang penuh perspektif ketimbang pengetahuan yang obyektif, mencintai visi kebudayaan yang non-rasional ketimbang visi kebudayaan yang rasional. Motif-motif kaum Nietzschean sangat jelas tampak dalam sejumlah argumentasi mereka mengenai peran bahasa dalam dominasi kebudayaan, dalam kritik mereka atas negara yang selalu mengawasi, dalam afirmasi mereka atas perbedaan multi-kultural serta dalam klaim mengenai perkiraan probematis, bidang-bidang yang tidak tereksplorasi dan suara-suara yang di marginalisir dalam teori sosial. Juga, serangan mereka yang elegan terhadap ideologi-ideologi moralistik, positivisme, bias-bias kebudayaan yang sempit dan dalil-dalil intelektual sanagt jelas menunjukkan dorongan-dorongan Nietzschean” [Antoni, 1995:28].

Namun hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan penting antara Nietzsche dengan teori sosial post-modern. Di satu pihak, banyak kaum postmodernis yang mendukung pandangan yang condong ke kiri, egalitarian, dan pluralistik. Kedua, relativisme ekstrem kaum postmodern terkadang mencerminkan modernisme liberal yang justru selama ini dikritik oleh Nietzsche. Ketiga, kaum postmodernis cenderung mengabaikan argumennya atas bentuk-bentuk baru otoritas dan dominasi kebudayaan. Akhirnya, sebutan Nietzsche untuk individu-individu yang “berdaulat” sering hilang sebagaimana lenyapnya subyek dalam dunia tanda-tanda postmodern.

Meskipun Nietzsche mensubordinasikan pengetahuan dalam kebudayaan, ia menyetujui pentingnya “kehendak akan kebenaran”, terutama kesediaan untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, “dalam segenap multisiplitas, ketidak-pastian khaotik dan kekerasannya, apapun biayanya [Antonio, 1995:19]. Maka bagi para individu yang berdaulat, “visi yang mengundang gairah serta kebenaran ilmiah merupakan dua hal yang dibutuhkan untuk menghadapi ‘lautan bebas dan tugas-tugas besar” [Antonio, 1995: 19].

Richard Rorty
Rorty memulai Philosophy and the Mirror of Nature dengan tinjauan singkat mengenai filsafat Barat dari abad 17 hingga abad 19. Ada sejumlah pemikiran dominan yang muncul selama periode ini seperti pemikiran yang memfokuskan diri pada persoalan manusia sebagai “yang mengetahui” (the knower) yang terlibat dalam proses merepresentasikan dunia, suatu pandangan yang melihat filsafat “sebagai pengadilan atas rasio murni, yang mendukung dan menyangkal klaim-klaim kebudayaan”, dan “sebagai sebuah disiplin dasar yang diklaim oleh pengetahuan” [Rorty, 1979:4]. Selama beberapan tahun filsafat tumbuh semakin ketat dan ilmiah. Dalam proses ini, filsafat semakin tidak dapat berbuat banyak berhadapan dengan segenap gejala kebudayaan lain.

Pada abad 20, sejumlah filsuf terutama Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger, dan John Dewey mempertanyakan orientasi filsafat dan mencari cara baru dalam membuat filsafat menjadi fondasional. Bagi Rorty [1979:6] yang terpenting adalah fakta bahwa para pemikir tersebut “menyetujui gagasan pengetahuan sebagai representasi akurat yang hanya dimungkinkan oleh proses-proses mental dan dimengerti lewat sebuah teori umum tentang representasi yang sudah saatnya ditinggalkan.” Rorty menganut pandangan bahwa apa yang diperlukan adalah dekonstruksi atas teori representasi, atau dalam istilah yang ia pakai, “dekonstruksi gambaran Cermin Alam Semesta (The Mirror of Nature). Rorty mengajukan kritik dan mengembangkan sebuah alternatif, dengan orientasi filosofis sebagai berikut: gambaran yang mendukung pesona filsafat tradisional adalah apa yang dalam pikiran disebut sebagai cermin besar yang memantulkan gambaran bermacam-macam –yang beberapa ada yang tepat dan beberapa lagi ada yang tidak, dan dapat dipelajari lewat metode-metode murni dan non-empiris. Tanpa memahami pikiran sebagai cermin, ide pengetahuan sebagai representasi akurat tidak akan punya manfaat bagi dirinya sendiri. Cerita tentang dominasi pemikiran Barat melalui metafor perbandingan-perbandingan [Rorty, 1979: 12-13].

Rorty bukan hanya menentang filsafat yang memberi tempat istimewa terhadap representasi, tetapi dia juga menyerang gagasan yang berusaha menjadikan filsafat sebagai suatu pengadilan tertinggi dan disiplin fondasional. Rorty mengaitkan pemikiran-pemikiran yang dia tolak dengan apa yang ia sebut sebagai filsafat-filsafat sistematik. Filsafat sistematik melibatkan kepercayaan akan manusia sebagai subyek yang mengetahui dan mengenal esensi-esensi serta melibatkan pencarian atas dasar-dasar sistematik yang membangun sebuah pemikiran. Berbeda dengan filsafat sistematik, Rorty memperkenalkan filsafat kemajuan (edifying philosophy) yang mencurigai semua pretensi filsafat sistematik. Rorty menawarkan serangkaian pertentangan antara kedua filsafat itu yang memberi kita gambaran atas apa yang ia maksud sebagai “filsafat kemajuan”: filsafat kemajuan bersifat reaktif dan menawarkan yang satiris, parodis, dan aforistis. Filsafat ini tahu bahwa pekerjaannya kehilangan arah manakala masa bagi sesuatu yang ia tanggapi sudah lewat. Filsafat ini secara intensional bersifat pinggiran. Filsafat-filsafat sistematik, seperti halnya para ilmuwan besar, membangun proyeknya demi keabadian. Filsafat kemajuan menghancurkan pemikiran-pemikiran demi kepentingan generasinya sendiri. Para filosof sistematik ingin menempatkan tujuan mereka pada jalan pengetahuan yang aman. Para filsuf kemajuan ingin tetap membuka ruang bagi semacam keajaiban dimana puisi bisa mendapat tempat –sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan hanya dapat dideskripsikan seadanya [Rorty, 1979: 369-370].

Jelaslah bahwa filsafat kemajuan jauh lebih rendah hati dari filsafat sistematik. Filsafat ini tidak hanya mengutuk gagasan tentang kepemilikan pemikiran tetapi juga menghindari posisi dalam memberikan pandangan-pandangan. Ia adalah “sejenis filsafat non-epistemologis” [Rorty, 1979:381]. Filsafat ini tidakmenempuh jalan yang diambil oleh ilmu pengetahuan dan program-program penelitiannya karena dalam pandangannya tidak ada satu jalan yang tepat untuk menggambarkan kenyataan. Sains diserang oleh Rorty [1979: 384–385], ”segera setelah program menempatkan filsafat pada jalan pengetahuan yang aman berhasil, dia akan mengalihkan filsafat ke dalam sebuah kekhususan akademik yang membosankan. Tujuannya tidak untuk menemukan kebenaran sebagaimana dalam filsafat sistematik dan sains, tetapi hanya untuk melanjutkan percakapan. Sebaliknya, sains menutup berlangsungnya percakapan dengan tindakannya menemukan jawaban. Mengurangi jawaban final atau kebenaran, filsafat kemajuan terus memberikan deskripsi-deskripsi baru dan selalu berjuang melawan kebenaran kebenaran, sebuah kebenaran yang elusif dan tidak pernah dicapai. Seperti ditegaskan Rorty [1979: 373], “filsafat kemajuan lebih bertujuan meneruskan percakapan daripada menemukan kebenaran.” Berlangsungnya percakapan dimaksudkan untuk menghadirkan diskursus yang tidak memaksa untuk kemudian mengambil langkah yang tidak terburu-buru. Jadi tujuan filsafat kemajuan adalah sebentuk diskursus yang bertujuan membangkitkan diskursus-diskursus abnormal, yaitu gagasan-gagasan baru. Tujuan filsafat kemajuan bukan untuk menemukan kenyataan atau kebenaran, tetapi untuk mempertahankan percakapan, karena lewat percakapan berkesinambungan seperti ini perspektif-perspektif dan wawasan baru akan ditemukan. Jadi, filsafat kemajuan berjarak dengan ilmu pengetahuan yang menutup percakapan-percakapan. Filsafat kemajuan lebih dekat dengan puisi, novel dan lebih penting, untuk tujuan kita, teori sosial postmodern. Kemajuan, bagi Rorty merupakan sebuah “proyek menemukan sebuah cara berbicara yang baru, yang lebih baik, lebih menarik dan lebih bermanfaat” [1979:360].

Sigmund Freud
Banyak kaum post-strukturalis dan postmodernis berupaya melampaui pemikiran sang pencipta psikoanalisis, Sigmund Freud. Oleh karena itu ada baiknya diberikan pengantar singkat atas beberapa pemikiran Freud sehingga kita melihat relevansinya –baik dalam pengertian positif atau negatif terhadap perkembangan posts-trukturalisme dan postmodernisme.

Dalam pengertian tertentu, Freud adalah seorang strukturalis yang melacak problem-problem psikologis yang nampak di permukaan dengan membongkar proses-proses bawah sadar. Sebagai contoh adalah Konflik Oedipus, sebuah konflik primodial yang harus diatasi oleh seorang atau yang lain demi menghindari lahirnya problem-problem psikologis di kemudian hari. Berbeda dengan perempuan yang memiliki dinamika yang saling berbeda, Freud percaya bahwa anak lelaki yang berumur 4-5 tahun menginginkan ibunya, dan karena itu ia cemburu dan cenderung agresif terhadap ayahnya yang memiliki ibu tersebut. Namun sang anak takut pada ayahnya, terutama ketakutan akan dikebiri. Penyelesaian atas konflik ini terletak pada kemampuan sang anak dalam menginternalisasi figur sang ayah sehingga bisa mengurangi kecemasannya. Namun kalau konflik itu tidak di selesaikan secara memadai akan melahirkan problem yang mendalam yang melahirkan problem psikologis di masa dewasa.

Sebagai contoh, strukturalisme Freud juga terefleksikan dalam pandangannya mengenai hal-hal seperti silap lidah (slips of the tongue) dan mimpi. Makna dari fenomena-fenomena seperti ini tidak terletak dalam apa yang nampak (manifest) tetapi lebih dalam fakta sesuatu yang ditekan dan direpresi oleh masyarakat. Maka seorang psikoanalis harus mampu melihat apa yang ada di bawah “permukaan” dan realitas-realitas yang ada di dalamnya. Logika seorang psikoanalis adalah bahwa orang yang sedang berbicara mengambil kesenangan dari silap lidah. Hal ini pada gilirannya akan mengacaukan makna verbal dari apa yang dikatakan. Jadi, kata-kata yang terucap dari silap lidah harus ditafsirkan sebagai simptom realitas bawah sadar yang tidak disadari.

Beberapa kaum post-strukturalis dan kaum postmodernis mengambil jarak dari jenis pemikiran semacam ini. Salah satu yang dihindari oleh kaum postmodernis dan kaum post-strukturalis adalah pembedaan Freud atas kebutuhan manusia yang murni (pure human needs) dengan keinginan-keinginan nyata (actual desires). Baudrillard mempertanyakan perbedaan ini dengan menganggapnya sebagai ide yang keliru yang memisahkan kebutuhan murni dari keinginan. Lebih umum, Foucault melihat psikoanalis dan banyak ilmu-ilmu kemanusiaan yang lain sebagai sebuah upaya untuk terlibat dalam proses memperluas pengetahuan masyarakat untuk mengukuhkan kekuasaan mereka atas yang lainnya.

Freud menciptakan sebuah teori yang dalam banyak hal bercorak sangat modern. Dia percaya bahwa ada karakteristik manusia yang esensial. Dia mengacu pada sebuah pandangan deterministik, ilmiah dan positivistik, dan dalam banyak cara dia mengadopsi pandangan totalistik tentang perkembangan masa kanak-kanak, tentang represi sosial atas kebutuhan dan keinginan manusia (needs and desires), serta tentang kebutuhan pasien untuk memecahkan masalah mereka dengan cara membicarakan masalah-masalahnya kepada psikiater dan membiarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang terpendam dinyatakan, juga keinginan dan pengalaman mereka. Kaum postmodernis sangat menentang totalisasi seperti itu sebagai sesuatu yang represif dan berwatak teror.

Namun demikian teori-teori Freud memainkan peran cukup penting dalam perkembangan post-strukturalisme dan postmodernisme. Diantara gagasan freud yang cukup relevan bagi kaum postmodernis adalah pandangannya bahwa masyarakat modern gagal memenuhi janji-janjinya, gagal dalam menawarkan representasi kenyataan yang tidak distorsif. Sesuatu yang marginal seperti mimpi dan silap lidah adalah fenomena yang amat penting dan bahwa proses untuk sampai pada sebuah interpretasi “yang benar” hanya membawa pada penafsiran-penafsiran lain. (Bersambung ke Bagian Ketiga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar