Rabu, 04 Februari 2015

Ideologi dan Motif Ekonomi-Politik





Radar Banten, 5 Februari 2015

Ada motif dan kepentingan ekonomi-politik atau kepentingan yang sifatnya material dan upaya “penguasaan” dibalik invasi dan penyebaran diskursus dan wacana pemikiran yang disebarkan dan dilembagakan oleh Amerika (Barat) ke negara-negara lainnya. Dulu, di era Orde Baru, misalnya, pernah merebak wacana privatisasi, yang ternyata dalam rangka membuka pintu bagi MNC-MNC raksasa dari Amerika (Barat) untuk membeli (menguasai) BUMN-BUMN (aset publik yang dikelola negara) Indonesia. Jauh-jauh hari sebelumnya hal ini telah disadari Sayid Muhammad Baqir as Shadr, seperti yang ia kemukakan dalam bukunya yang berjudul Iqtishaduna (Ekonomi Kita):

“Sejak dunia Islam mengenal bangsa Eropa dan manut begitu saja di bawah arahan intelektual dan kepemimpinannya dalam proses peradaban, ketimbang meyakini risalah nyatanya yang agung (Islam), apalagi menjadikannya sebagai pedoman pokok bagi kehidupan ummat manusia, sejak itu pula dunia Islam mulai menerima perannya dalam kehidupan, dalam rangka pengotak-ngotakan Negara yang diciptakan bangsa Eropa. Dalam hal ini, mereka (bangsa Eropa) memilah-milah Negara-negara di dunia ke dalam kedua kategori berdasarkan tolok ukur kemampuan ekonomi dan potensi produktivitasnya –yakni Negara maju dan Negara miskin atau terbelakang.

Negara-negara dunia Islam yang semuanya dimasukkan ke kategori terakhir –sesuai logika bangsa Eropa, akhirnya dipaksa untuk mengakui kepemimpinan Negara-negara maju seraya memberi Negara-negara maju itu keleluasaan untuk menanamkan semangat mereka dalam diri ummat Islam, sekaligus –konon, meratakan jalan bagi kemajuan ummat. Dengan cara ini, dunia Islam yang secara ekonomi digolongkan sebagai kumpulan Negara miskin, memulai kehidupannya dengan peradaban Barat dan melihat problem dirinya sebagai problem ketertinggalan ekonomi di belakang Negara-negara maju, yang kemajuan ekonominya telah memberi mereka tongkat kepemimpinan dunia.

Negara-negara maju tersebut lalu mengajari dunia Islam bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi problema ini –dan mengejar ketertinggalannya, adalah dengan mengadopsi gaya hidup bangsa Eropa yang dianggap sebagai kebiasaan yang prinsipil, seraya mengambil langkah-langkah dari kebiasaan ini dalam upaya membangun kemampuan ekonomi yang sempurna dan utuh demi mendongkrak keberadaan Negara-negara Islam agar sejajar dengan bangsa Eropa modern.

Subordinasi dunia Islam di bawah kebiasaan bangsa Eropa –sebagai pemimpin peradaban Barat, menampakan dirinya dalam tiga bentuk berturut-turut. Dan bentuk-bentuk tersebut tetap eksis hingga kini di berbagai belahan dunia Islam. Pertama, subordinasi politik yang ditandai dengan penguasaan secara langsung Negara-negara maju secara ekonomi atas Negara-negara terbelakang (dunia ketiga).

Kedua, subordinasi ekonomi yang berjalan seiring dengan kemunculan para penguasa yang mandiri secara politik di Negara-negara terbelakang. Subordinasi jenis ini ditandai dengan diberikannya keleluasaan yang penuh bagi perekenomian Eropa untuk berkiprah dalam Negara-negara tersebut dengan cara yang berbeda-beda –mengeksploitasi sumber daya utama mereka, mengisi kekosongan modal mereka dengan kapitalisme asing, dan memonopoli sejumlah alat ekonomi dengan dalih hendak melatih kaum pribumi (persis seperti yang dilakukan Amerika yang bekerjasama dengan orde baru Soeharto –pen) di berbagai Negara agar siap menanggung beban pembangunan ekonomi negaranya.

Ketiga, subordinasi dalam metode yang dipraktikkan orang-orang di dunia Islam dalam banyak percobaan. Melalui eksperimen-eksperimen tersebut, mereka berupaya meraih kemandirian politik dan mengenyahkan dominasi politik dan ekonomi bangsa Eropa. Mereka mulai berpikir untuk bersandar pada kekuatan sendiri (semisal berdikari-nya Soekarno, peny.) dalam mengembangkan perekenomian dan mengatasi keterbelakangan mereka.

Bagaimana pun juga, mereka hanya mampu memahami karakteristik persoalan yang diperlihatkan oleh keterbelakangan ekonomi mereka dalam bingkai pemahaman bangsa Eropa tentangnya. Karena itu mereka dipaksa untuk memilih metode yang sama dengan yang digunakan bangsa Eropa dalam membangun perekonomian modernnya”.

Hal senada juga diungkapkan John Perkins setelah taubat sebagai bandit ekonomi, di mana ia mengungkapkan lewat tulisan-tulisan pengakuannya, semisal pengakuannya: “Ketika aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan asing sudah jelas, yaitu menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah (Reza Pahlevi) Iran. Kedua orang itu serupa: tamak, angkuh dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Asia lainnya, juga dunia Islam, khususnya Timur Tengah”. Lebih lanjut John Perkins mengakui bahwa acapkali beberapa bencana dan serangan teror juga merupakan rekayasa yang diinisiasi para korporat dalam rangka untuk membuka proyek baru yang akan memberi peluang bisnis bagi MNC-MNC dari Amerika, semisal pengakuannya berikut ini:

“Kebanyakan warga AS tidak tahu bahwa bencana nasional bisa disamakan dengan perang. Bencana sangat menguntungkan pebisnis besar. Banyak uang untuk pembangunan kembali pasca bencana mengalir ke firma pembangunan AS dan korporasi multinasional. Berbagai program ‘pemulihan pasca bencana’ justru memberi satu kendaraan lagi untuk menyalurkan uang kepada para pembangun imperium. Duapuluh enam Desember 2004 adalah hari yang kelam. Bukan hanya bagi korban langsung tsunami yang mengerikan, tetapi juga bagi kita semua yang percaya pada kasih sayang, kemuliaan dan amal baik kepada sesama penghuni bumi.

Pemerintah Bush tidak menyia-nyiakan waktu. Sebulan setelah Tsunami, tepatnya Januari 2005, Washington membalik kebijakan Clinton 1999 yang memutuskan hubungan dengan militer Indonesia yang represif. Gedung Putih mengirimkan peralatan militer senilai satu juta dollar ke Jakarta. Pada 7 Februari 2005, The New York Times melaporkan bahwa Washington menyabet kesempatan yang muncul pasca-Tsunami. Menlu Condoleeze Rice mengambil langkah dengan memperkuat pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara signifikan.

Sebuah contoh meyakinkan yang menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana alam bisa dilihat di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Selama tiga dasa warsa warga setempat melakukan perlawanan untuk mencegah masuknya perusahaan kayu dan minyak ke salah satu kawasan terkaya di dunia ini. Namun setelah GAM ditumpas, kawasan ini terbuka untuk dieksploitasi kembali. Hubungan antara elit pemerintah Indonesia, pemerintah AS, dan korporasi Internasional, mengindikasikan metode yang digunakan korporatokrasi di seluruh dunia selama era pasca perang dunia II. Sebagian besar pembangunan imperium dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi”.

Apa yang dikemukakan Sayid Muhammad Baqir as Shadr dan John Perkins tersebut haruslah kita akui sebagai bentuk baru upaya “penguasaan” secara ekonomi dan politik negara yang memiliki kekuatan modal dan militer, yang dalam hal ini Amerika (Barat), yang disebut oleh para analis dan pengamat mutakhir sebagai “soft colonialism” Orde Dunia Baru, melalui tangan para korporat yang acapkali juga para pejabat dan politisi, di mana dalam paparan John Perkins itu salah-satu ikon korporatokrasi yang nyata adalah Wakil Presiden Amerika Serikat Dick Cheney, yang tak lain mantan CEO Halliburton, kontraktor terbesar di dunia, dan sampai kini menjadi penasihat bisnis MNC tersebut. Dick Cheney juga-lah penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat senjata pemusnah massal. Dan saat ini Halliburton bersama MNC lainnya menikmati keuntungan dari ladang minyak di Irak pasca invasi tersebut. Salah-satu korban ambisi korporatokrasi lainnya, dalam hal ini, adalah Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeq (1951- 1953) yang digulingkan dan dibunuh oleh agen-agen Amerika karena menasionalisasi industri pertambangan.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar