Banten Raya, 2 Februari 2015
“Karena
di dalam sentuhan terdapat cinta kasih dan akal abadi” (Helen Keller).
Bagian tubuh kita yang paling banyak bekerja adalah tangan. Tangan juga yang
paling sering mewakili emosi, gerak, dan ekspressi kita dalam hidup
sehari-hari. Kita mengacungkan tangan ke arah orang lain ketika kita marah,
menantang, dan mengancam. Tangan pula yang membanting, memukul, atau bahkan
menikam. Kita berdoa dan mengusap airmata kita dengan tangan, hingga bisa
dikatakan tangan adalah bagian tubuh kita yang paling akrab dengan kebajikan
dan kejahatan. Sebab tangan-lah yang memukul sekaligus menjabat mesra. Tangan
pula yang telah menghasilkan ribuan puisi indah, patung-patung atau
lukisan-lukisan monumental yang dikagumi dan dikenang banyak orang, sejumlah
kerajinan dan produk ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang mendatangkan banyak
manfaat bagi hidup kita. Hal ini dicontohkan dengan baik dalam pengakuan Helen
Keller:
“Tangan
bagiku sama artinya dengan pendengaran dan penglihatan bagimu. Secara umum
dapat dikatakan kita menempuh jalan yang sama, membaca buku yang sama,
berbicara menggunakan bahasa yang sama. Tetapi yang aku dan kau alami sangatlah
berbeda. Segala gerakku berporos pada tanganku. Tanganlah yang menjadi
pengikatku pada dunia pria dan perempuan. Tanganku adalah alat peraba yang
bersamanya aku menjangkau segalanya, melenting dari keterasingan dan kegelapan
malam yang kekal”.
Namun
dengan tulisan ini saya tak hendak mengetengahkan tangan sebagai cermin
intelegensia sebagaimana yang diulas oleh Martin Heidegger. Melainkan tangan
yang diintimi oleh Helen Keller dalam hidupnya sebagai perempuan tunanetra dan
tunarungu, di mana karena cacat yang dideritanya sejak usia 19 bulan itu
membuat tangannya menjadi organ tubuh sekaligus indera untuk meraba, menerka,
merasa, membaca, dan mengenali dunia yang bagi orang normal fungsi itu milik
mata dan telinga dalam artian yang umum dipahami.
Pertama-tama
marilah kita pahami afirmasi makna material dan spiritual tangan tersebut dalam
kata, bahasa, dan istilah seperti yang dituturkan Helen Keller dalam
otobiografinya yang berjudul The World I Live In itu. Sebuah otobiografi unik
di mana penulisnya mengutarakan dan menceritakan apa yang telah dilakukan
tangannya sebagai perempuan tunanetra dan tunarungu. Dalam catatan-catatan
otobiografisnya itu Helen Keller dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia melihat
dan mendengar dengan tangannya. Tentu saja kata melihat dan mendengar yang
dikatakannya itu bukan dalam artian verbal. Kata mendengar dan melihat yang
dimaksudkannya adalah pengintiman dan pengenalan dunia luar secara lain.
Kata
“hand” (tangan) dipahami oleh kita sebagai “the organ of apprehension” (organ
untuk menangkap dan memahami). Dan yang ditangkap dan dipahami tangan mencakup
dunia fisik, spiritual, dan intelektual. Demikian papar Helen Keller dalam
catatan-catatan otobiografisnya itu. Seperti ketika tangan kita meraba bunga
teratai basah kita akan mendapatkan pengalaman yang berbeda ketika tangan kita
menyentuh bunga teratai yang kering dan layu. Atau ketika tangan kita sanggup
membedakan kerasnya kayu dengan kerasnya batu saat menyentuh dan mengetuknya.
Seperti itu pula Helen Keller mengenali benda-benda, sesama manusia, dan tentu
saja dunia yang melingkupi hidup dan membangun pengalamannya sebagai perempuan
tunanetra dan tunarungu, yang dalam banyak hal justru lebih mampu membuatnya
lebih akrab dan intim dengan apa saja yang disentuh oleh tangannya.
Hampir
di sebagian besar isi otobiografinya yang berjudul The World I Live In itu,
Helen Keller menceritakan kehidupan sehari-harinya dan mengenali dunia
pengalamannya dengan “merasa” dan “menyentuh” menggunakan tangannya. Tangannya
Helen Keller adalah tangan yang telah menggantikan fungsi mata dan fungsi
telinga yang dimiliki orang kebanyakan yang normal. Tetapi dengan itulah
imajinasi Helen Keller malah jadi berkembang mengembarai dunia-dunia yang
diterka dan diangankannya melalui tangan dan pikiran. Meski pada awalnya,
seperti yang diakuinya, kebutaan dan ketuliannya membuatnya seakan-akan
terjebak dalam dunia mimpi abadi yang gelap dan sunyi-sepi. Berkat dorongan dan
motivasi gurunya, Anne Sullivan, akhirnya ia mampu berjuang untuk melawan dan
mengatasi kekurangannya itu menjelma harapan.
Lahir
di kawasan pedesaan Tuscumbia, Alabama, sudah barang tentu Helen Keller akan
meminta menjalani kehidupan sehari-hari sebagai orang yang normal jika saja ia
boleh memilih dan mengajukan opsi kepada Tuhan. Dunia gelap tanpa suara yang
menghampiri dan datang di saat ia berusia 19 bulan itu tokh akhirnya ia terima
sebagai sebuah kekuatan dan kebetulan yang berada di luar kekuasaannya sebagai
manusia. Justru dengan kebutaan dan ketuliannya itu pula indra penciuman dan
tangannya jadi lebih kuat dan lebih peka ketika mengenali dunia dan benda-benda
yang ingin diketahui dan diakrabinya dengan jalan meraba dan mencium
benda-benda, aroma, suhu udara, atau mengenali orang-orang dengan membedakan
bau keringat mereka.
Membaca
catatan-catatan otobiografi Helen Keller tersebut, kita semakin menerima
pemahaman bahwa jiwa dan badan memang entitas yang amat karib dan intim, bukan
entitas yang saling meniadakan sebagaimana wawasan dan paradigma Platonisme dan
Cartesianisme itu. Sebelum dunia bathin dan dunia pikirannya Helen Keller
mengembarai dunia malam imajinasi dan harapan yang gelap itu, tangannyalah yang
terlebih dahulu meraba, menyentuh, dan merasakan benda-benda yang ingin
diketahui dan dikenalinya. Barulah kemudian ia mengembangkan impressi dan
sensasi yang didapatkannya ia sulap menjadi sekian gagasan yang menjelma
sejumlah karya tulisan. Dalam kegelapan malam yang kekal itu pula dunia dan
gagasan keimanan Helen Keller terasa lebih lembut, peka, dan indah. Hingga
menghasilkan gema dan nada-nada yang terdengar amat feminim bagi kita tanpa
mesti mengumbar keluhan dan ratapan yang berlebihan.
Membaca
catatan-catatan otobiografi Helen Keller yang berjudul The World I Live In itu,
secara pribadi saya mendapatkan pemahaman dan penegasan tentang badan yang
sejajar dengan jiwa. Sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pemahaman dan
wawasan Platonisme dan Cartesianisme yang merendahkan badan sebagai The Second
Entity atawa entitas kedua atau entitas tambahan semata. Di sini, seorang
pemikir besar yang saya kira memiliki pandangan dan wawasan positif tentang
badan adalah Thomas Aquinas, teolog dan filsuf dari abad pertengahan itu, yang
dalam beberapa hal menolak gagasan dan wawasan filsafat Plato dan lebih
menerima pandangan dan wawasan filsafatnya Aristoteles.
Sebuah
sentuhan tangan yang lembut dan penuh cinta seorang kekasih, demikian tulis
Helen Keller, jauh lebih berkesan dan terasa ketimbang kata-kata yang diucapkannya.
Sentuhan lembut tangan sang kekasih itu akan meresap bersama aliran darah di
tubuh kita yang memang menginginkan sentuhan sesama tangan dan badan. Dan
seperti kita tahu, tangannya seorang seniman dan penulis adalah tangan yang
bekerja sekaligus berpikir secara bersamaan. Seperti ketika seorang penyair
menyusun rima dan suara sajak, seperti ketika seorang komposer menggubah dan
menyusun nada-nada, seperti ketika seorang novelis menulis prosanya, seperti
ketika seorang pemahat mengukir patung dan kerajinan, seperti ketika seorang
pelukis membuat sketsa dan merangkai warna, dan lain sebagainya.
Pikiran
dan intelegensia tangan malah seringkali lebih sigap dan tangkas, seperti
ketika kita menangkis saat dipukul, seperti ketika menangkap dan meraih tangan
dan tubuh orang yang kita sayangi saat terjatuh. Tangan memanglah organ tubuh
kita yang paling unik anugerah Tuhan, anugerah yang dalam hidup Helen Keller
demikian intim dan akrab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar