Tangsel Pos, 10 September 2014
Seorang muslim yang peka
tentu saja akan merasa prihatin dengan peristiwa-peristiwa mutakhir yang
berkenaan dengan Islam sebagai sebuah kepercayaan dan pandangan hidup muslim,
yang akhir-akhir ini dilekatkan dengan kejadian-kejadian teror dan kekerasan, yang
menemukan titik klimaks pertamanya pada peristiwa 11 September 2001, atau yang
lazim disebut sebagai Black September yang mengakibatkan kematian banyak jiwa,
bebeberapa tahun silam.
Dan belakangan
tindakan-tindakan teror tersebut untuk sebagiannya masih menggunakan
retorika-retorika jihad dan kesyahidan. Berangkat dari peristiwa-peristiwa
tersebut, barangkali kita perlu sejanak bertanya: “Benarkah tindakan-tindakan
bunuh diri dan serentetan peristiwa-peristiwa kekerasan itu sejalan dengan
semangat dan doktrin Islam? Benarkah kata dan terminologi jihad dan kesyahidan
hanya dimaksudkan dalam konteks-konteks peperangan fisik, dan bukan yang lebih
bermakna kultural dan intelektual?”
Namun, sebelum kita
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya kita mempertimbangkan apa yang
pernah dikatakan Akbar S. Ahmed sejauh menyangkut tantangan ummat Islam saat
ini. Di abad 21, demikian tulis Ahmed dalam bukunya yang berjudul
Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), interaksi dan
bahkan konfrontasi antara Islam dan Barat melahirkan dilemma internal di antara
keduanya, dan khusus bagi kaum muslim itu sendiri adalah bagaimana melestarikan
esensi pesan-pesan al Qur’an tanpa harus sekedar mereduksinya hanya semata-mata
nyanyian usang dan hampa dalam adaptasinya dengan konteks kekinian ummat Islam
itu sendiri.
Juga bagaimana, lanjut
Ahmed, kaum muslim dapat berpartisipasi dalam peradaban global tanpa harus
menghapus identitas mereka sebagai muslim. Dengan kata lain, ummat Islam mau
tak mau dan tak mungkin menghindarinya telah berada di persimpangan jalan,
berada dalam dilemma bagaimana mendayagunakan vitalitas dan komitmen keimanan
dan keislaman mereka dalam memenuhi tujuan mereka di pentas dunia tanpa harus
meninggalkan Islam itu sendiri.
Dilemma kekinian kaum
muslim sebagaimana yang dikemukakan Akbar S. Ahmed di atas memang bukan isapan
jempol semata dan masih terasa sampai detik ini bila kita melihat tantangan
Islam saat ini berkaitan dengan isu-isu dan peristiwa-peristiwa terorisme dan
kekerasan yang acapkali dirujukkan kepada Islam sebagai ajaran, ideologi, dan
kepercayaan. Dan itu pula yang dapat kita sebut sebagai situasi epistemik yang
dihadapi dan mau tidak mau mesti dihidupi kaum muslim saat ini, yang bila
meminjam frasenya Jurgen Habermas bagaimana orang-orang beriman dapat hidup
selaras di tengah dunia yang telah mengakui dan menerima kemajemukan dan
toleransi sebagai dasar institusi sosial dan politiknya, tanpa mesti
orang-orang beriman meninggalkan keyakinan agamis mereka di dalam dunia yang menuntut
toleransi dan tidak lagi menginginkan praktik-praktik kekerasan.
Dan bila dilihat secara
umum, tantangan tersebut juga dihadapi semua agama, bukan hanya Islam, seperti
yang dikemukakan William McInner dengan ceramahnya pada tahun 1989 dalam suatu
konferensi di Jepang (Jurnal Ulumul Qur’an Vol.II
1990, h. 76-83). Di mana agama di abad 21 mau tidak mau harus menerima
kenyataan fragmentaris yang bisa menjadi lawan sekaligus menjadi kawan, seperti
semakin diterimanya sikap-sikap dan pandangan-pandangan positivisme-ilmiah dan
privatisasi. Yang selanjutnya menurut McInner, agama juga menghadapi
kekuatan-kekuatan sinkretisasi yang berusaha mencari dan menemukan
sintesis-sintesis dari doktrin-doktrin dan nilai-nilai agama dengan cita-cita
humanisme sekular dan positivisme abad ini. Yang bila disederhanakan dan
disingkat, agama seakan-akan dituntut untuk berdamai dengan realitas kefanaan
yang terus berubah, dan kadang terlampau cepat dan mengagetkan paradigma
orang-orang beriman yang masih menganggap doktrin dan bunyi-bunyi verbal kitab
suci mereka sebagai pijakan segala-galanya.
Apa yang dikemukakan Akbar
S. Ahmed dan McInner tersebut juga tengah dihadapi dan sedang berlangsung dalam
kehidupan kaum muslim, ketika kaum muslim harus mampu mencapai kemajuan peradaban
dan intelektualnya, di satu sisi, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan
identitas kemuslimannya, yang pada saat yang sama kaum muslim dituntut untuk
memperkecil kesenjangan antara doktrin Islam dan kenyataan kefanaan yang
dihidupinya. Bahkan, sedemikian rupa, ummat Islam mau tak mau mesti
menyelaraskan dirinya dengan perbedaan-perbedaan dan identitas-identitas
kebangsaan dan keagamaan di luar dirinya.
Persis dalam konteks itu
pula, identitas kemusliman dan kesalehan tentu saja tak hanya menemukan jawaban
dan aplikasinya dalam ortodoksi, yang selama ini sekedar memandang dan memahami
Islam sebatas sejumlah doktrin dan ajaran pewahyuan yang dikonsentrasikan pada
ritualitas murni (mahdhah) semata, Islam yang dijauhkan dari wacana pemikiran.
Kecenderungan-kecenderungan seperti itu hanya akan mengarahkan pada pemahaman
dan sikap hidup yang dapat membuat Islam seolah-olah tidak terbuka pada ikhtiar
pemikiran kritis (ijtihad) untuk selalu menyikapi dengan lapang dada arus-arus
perubahan dan mengafirmasi realitas kefanaan yang dihidupi dan dialami dalam
keseharian ummat Islam.
Kita pun sama-sama maphum,
kedatangan Islam itu sendiri dalam sejarahnya merupakan counter culture atas
keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi sosial-politik di mana Islam diperjuangkan
oleh Nabi Muhammad, ketika Islam menolak paganisme dan penguburan bayi
perempuan dalam keadaan hidup, sebagai contohnya. Penolakan dan perlawanan
terhadap praktek-praktek paganisme dan penguburan bayi perempuan dalam keadaan
hidup itu pada jamannya telah membuka wawasan baru tentang humanisme dan
martabat manusia.
Contoh-contoh dan
pendapat-pendapat di atas telah membuktikan bahwa Islam tak hanya sebuah agama
ritualis, tetapi lebih dari itu, ia merupakan semangat emansipasi dan
pencerahan, sebuah agama yang tak cuma mengajarkan jihad dalam artiannya yang
semata fisik dan berbau kekerasan, tetapi adalah sebuah nilai dan semangat
hidup agar manusia terus menerus melakukan kebajikan yang tak semata-mata
dipahami secara egoistik dan chauvinistik, melainkan agar menjadi rahmat bagi
semua ummat manusia di muka bumi ini.
Jihad yang sesungguhnya
adalah bagaimana kaum muslim mengentaskan dirinya dari kemiskinan dan
ketertinggalan kultural dan struktural, adalah bagaimana ummat Islam tak cuma
menjadi ummat yang bisa mengkonsumsi tanpa mencipta, ummat yang kreatif dan
produktif hingga berperan aktif dalam cita-cita peradaban dan perdamaian ummat
manusia, sebagaimana yang dibayangkan Akbar S. Ahmed.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar