Teori sosial postmodern
merupakan hasil dari serangkaian proses sosial dan intelektual yang sungguh
sangat kompleks. Dibutuhkan banyak sekali usaha untuk bisa menempatkan ‘sejarah
yang kaya’ ini dalam posisi yang layak dalam dunia ilmu sosial. Tulisan ini boleh
dikata hanya merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang
lebih detail dan mendalam seputar teori sosial postmodern –sekaligus juga
merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang
dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau
pemikir-pemikir yang mungkin kurang begitu dikenal seperti Sontag, Venturi,
Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, Levi-Strauss. Di sini diandaikan
bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoritikus sosial yang
memainkan peranan penting –entah positif atau negatif– dalam pembentukan teori
sosial postmodern seperti Marx, Durkheim, dan Weber.
Seni dan Kritisisme
Kesusastraan
Seperti yang sudah kita
lihat, akar pemikiran postmodern terletak dalam kesusastraan, arsitektur,
teater, lukis, tari dan bidang-bidang yang terkait dengannya.
Pemikiran-pemikiran tersebut lalu berinteraksi dengan post-strukturalisme yang
pada proses berikutnya membentuk apa yang sekarang kita sebut sebagai teori
sosial postmodern. Dalam bagian ini kita akan melakukan tinjauan sekilas atas
sejarah postmodernisme dalam wilayah seni, dengan bersandar pada karya Hans
Bertens [1995], The Idea of the Postmodern.
Istilah postmodern pertama
digunakan sekitar tahun 1870-an. Konsep tersebut digunakan dalam sebuah judul
buku terbitan tahun 1926 yang diperbaharui lagi pada tahun 1930-an dan 1940-an.
Akan tetapi karya awal yang boleh dikata terisolasi tersebut hanya memiliki
sedikit kesamaan dengan literatur postmodernisme yang muncul di tahun 1960-an.
Sebuah dokumen kunci mengenai postmodernisme tak lain adalah eseinya Susan
Sontag (1964/1967) yang berjudul “Against Interpretation”. Dalam esai tersebut
Sontag memandang interpretasi sebagai sesuatu yang bersifat opresif dan
melumpuhkan. Untuk menggantikan “makna-makna” yang diambil dari interpretasi,
Sontag mencatat tentang pentingnya sensasi-sensasi yang serentak. Selain itu
esai tersebut juga menekankan pentingnya tidak memperlebar perbedaan antara apa
yang sering disebut sebagai budaya rendahan dan budaya adiluhung (low and high
culture).
Figur kunci lain dalam
periode ini adalah Leslie Fiedler [1969/1975], yang mengajukan kritik atas
modernisme dan saudara kandungnya: rasionalisme dan humanisme liberal. Fiedler
merasa bahwa kita sedang mengalami proses kematian modernitas serta kelahiran
postmodernitas yang ditandai oleh merebaknya anti-rasionalitas, romantisisme
serta senti-mentalitas. Fiedler juga menekankan pentingnya “yang lokal dan
tribal” sebagai lawan terhadap kecenderungan modern yang bercorak esensial dan
universal.
Selain dalam karya-karya
kritik sastra, Bertens juga melihat adanya manifestasi awal postmodernisme
dalam musiknya John Cage, susunan benda-benda karya Robert Rauschenberg serta
novel-novel karya Alain Robbe-Grillet, John Barth dan Thomas Pynchon yang tidak
percaya pada etika kaum modernis. Bertens [1995: 34] menyimpulkan: “dapat
dikatakan bahwa apa yang sekarang dikenal sebagai agenda postmodern sebenarnya
sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.”
Di sini juga akan meninjau
post-strukturalisme dan reaksinya terhadap teori modern sebagai penyebab utama
dan terpenting bagi kemunculan teori sosial postmodern. Namun Bertens [1955:
35] berkomentar “bahwa kemunculan teori postmodern pertama-tama adalah sebagai
respon atas pembaruan seni kontemporer dan bukan karena pembacaan ulang kaum
post-strukturalis atas teks-teks besar modernisme.”
Postmodernisme tumbuh luas
dan tampil secara eksplisit tahun 1970-an. Figur utama dalam periode ini adalah
Ihab Hassan [1971], meski karyanya sekarang lebih dipandang sebagai sesuatu
yang punya arti penting secara historis ketimbang sebagai suatu karya yang
berpengaruh dalam pemikiran postmodern kontemporer. Sebagai contoh adalah
eseinya yang berjudul POSTmodernISME: A Paracritical Bibliography yang
mengkritik tajam watak postmodernisme yang anarkis. Setelah memfokuskan diri
dalam bidang kesusastraan, Hassan pun mulai menganalisis sektor kebudayaan yang
lebih luas yang kemudian menjadi perhatian teori sosial postmodern. Figur
sentral lain selama periode ini adalah William Spanos, dengan jurnalnya
Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature and Culture. Akan tetapi Spanos
sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme, yang mana hal itu menghalangi dia
untuk menjadi yang utama dalam jajaran pemikir postmodern –dalam bidang bahasa.
Sebagaimana diketahui, eksistensialisme sangat menaruh perhatian pada manusia
sebagai subyek, sementara linguistik justru memproklamasikan akhir segala macam
subyek (the end of subject). Orientasi politik paling radikal dari
postmodernisme eksistensial Spanos juga tidak sesuai dengan nihilisme, suatu
sikap yang dianut oleh postmodernisme dewasa ini. Akhir tahun 1970-an, Spanos
beserta corak postmodernisme eksistensialnya pun tersingkirkan.
Beralih dari kritisisme
sastra ke bidang arsitektur, Robert Venturi memainkan peran penting selama
tahun 1960-an dan 1970-an, terutama dalam tulisannya “Complexity and
Contradiction in Architecture” [1966] serta “Learning from Las Vegas” [1972]
yang ditulis bersama Denise Scott Brown dan Steven Izenour. Venturi, peraih
Pritzker Architecture Prize 1991, adalah “sosok yang diketahui secara umum
telah membelokkan mainstream arsitektur dari kungkungan corak modernisme”
[Bertens: 1995:53]. Venturi menekankan arsitektur yang ‘nampak’ berantakan,
kompleks dan kontradiktoris, sebentuk arsitektur yang banyak mengambil
inspirasi dari kebudayaan dan seni populer. Venturi ingin menunjukkan bahwa
bukan cuma ada satu bahasa dalam dunia arsitektur. Ada banyak bahasa dalam
arsitektur, dan oleh karenanya arsitektur tidak boleh diisolasi dari
“bahasa-bahasa” yang dianggap lain.
Sementara itu pada
pertengahan tahun 1970-an, Charles Jencks menerbitkan karyanya yang berjudul
“The Rise of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1975] serta “The Language of
Post-Modern Architecture” [Jencks, 1977] yang membuatnya menjadi “guru”
Post-Modernisme [Bertens: 1995:57]. Jencks terkenal dengan idenya tentang “kode
ganda”, yang salah sutu cirinya adalah tetap mengadopsi elitisme arsitektur
tetapi sekaligus melengkapinya dengan kekhasan setempat. Dengan hal tersebut
Jencks tidak bermaksud menggugurkan unsur-unsur yang modern, tetapi ia ingin
memasukkan unsur-unsur yang dianggap “tidak lazim” dalam bidang arsitektur.
Jencks juga mengemukakan pentingnya penandaan atas representasionalisme dalam
arsitektur –suatu pandangan yang dengan segera ditolak oleh kaum postmodernis.
Jenks berpandangan bahwa arsitektur mesti menjadi semacam bahasa (kind of
language) yang merepresentasikan situasi kehidupan sehari-hari. Jencks juga
mengantisipasi orientasi post-strukturalis dengan cara mengadopsi
gagasan-gagasan semiotik: melihat arsitektur sebagai suatu jenis bahasa.
Menurut Bertens [1995: 62], pandangan Jencks mengenai “kode ganda” ingin
menekankan makna-makna plural, keterlibatan dan partisipasi para pengamat serta
paduan kompleks representasi, ornamen, referensi historis, simbolisme dan
humor.
Pada akhir tahun 1970-an,
Bertens berpendapat bahwa pusat perkembangan postmodern telah beralih dari
bidang kesusastraan dan arsitektur ke berbagai bidang seni lain termasuk
fotografi, seni pahat dan lain-lain. Perkembangan ini menunjukkan adanya
sejumlah perkembangan teoretis yang sangat penting, misalnya soal
poststrukturalisme dan karya pemikir-pemikir seperti Jacques Derrida, Roland
Barthes dan Michel Foucault. Ini dapat juga berarti bahwa fokus perhatian
postmodernisme telah beralih ke persoalan tanda (sign) serta hubungan antara
tanda-tanda tersebut dan bukan pada kenyataan material yang mereka inginkan
untuk direpresentasikan. Termasuk di sini adalah pemikiran tentang seni atau
budaya secara umum karena ia merepresentasikan realitas, di mana realitas
dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat direpresentasikan dan tanda-tanda
dilihat sebagai ekspresi bebas dari dunia nyata. Di dalam fotografi, Douglas
Crimp berpendapat bahwa: “representasi selalu merupakan ilusi karena pengalaman
tak dapat dielakkan selalu disampaikan oleh bahasa; pengalaman selalu
tertandai… segala persepsi visual ditandai dalam suatu cara tertentu. Tidak ada
suatu representasi di luar sana yang tertandai sejak semula, dan oleh karenanya
seni selalu merupakan ‘salinan’ dari sebuah ‘salinan’ dan tidak ada subyek
dalam pengertian tradisional tentang reprentasi” [Bertens, 1995:86-87].
Penolakan atas gagasan
representasi realitas juga diajukan oleh fotografer Sherrie Levine lewat
karya-karya fotografi kanoniknya. Penolakan serupa juga dilakukan Richard
Prince lewat karya-karya advertisingnya seperti yang terlihat dalam
majalah-majalah. Selain penolakannya atas representasionalisme, karya-karya
tersebut juga menunjukkan sejumlah prinsip dasar postmodernisme. Karya-karya
tersebut meruntuhkan gagasan-gagasan modern seperti originalitas dan
otentisitas –karya-karya tersebut menempatkan gagasan-gagasan postmodern
sebagai apropriasi dan hibridisasi. Dan yang paling penting, karya fotografi
seperti itu merepresentasikan penolakan postmodern atas kepengarangan. Di sini
bisa diajukan pertanyaan: siapakah yang layak disebut fotografer dalam kasus
fotografi Sherrie Levine? Jelas sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa
pengarang atau fotografer dalam kasus tersebut.
Serangan terhadap ide
kepengarangan, asal-usul dan representasi ini juga mengakibatkan serangan
terhadap praktek-praktek tradisional dalam sejarah seni, juga mengenai cara
bagaimana museum-museum dijalankan secara tradisional. Hal ini berkaitan dengan
postmodernisme yang semakin berkembang secara politik di akhir 1960-an dan awal
1970-an. Berkembangnya kesadaran ini menawarkan jalan keluar dari apa yang
selama ini menjadi semacam kebuntuan – relativisme radikal, skeptisisme– yang
diciptakan oleh post-strukturalisme. Sebagai contoh, kaum feminis melihat bahwa
ide tentang pengarang terkait erat dengan prinsip patriarkhi –sebagian besar
pengarang kanonik adalah laki-laki. Contoh lain adalah yang tampil dalam diri
postmodernis-postmodernis Marxis yang melakukan serangan terhadap kontrol
kapitalistik lewat seni dan kebudayaan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
karya-karya Hans Hacke yang didesain untuk menunjukkan hubungan antara seni dan
kekuasaan, khususnya kekuasaan museum-museum kolektor-koletor seni entah
pribadi atau korporat [Jameson, 1991].
Karya di bidang
kesusastraan dan seni berlanjut sampai sekarang. Seperti disimpulkan oleh
Bertens [1995:107], “postmodernitas tidak pernah menetap lama pada satu tempat
tertentu.” Akan tetapi kita perlu, seperti yang dilakukan Bertens dalam
karya-karyanya, mengalihkan diskusi ke sejumlah bidang bahasan lain seperti
perkembangan bidang-bidang teoritik serta perannya dalam kemunculan teori
sosial postmodern. (Bersambung ke Bagian Kedua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar