Rabu, 06 Mei 2015

Diskursus Postmodernisme (Bagian Pertama)




Teori sosial postmodern merupakan hasil dari serangkaian proses sosial dan intelektual yang sungguh sangat kompleks. Dibutuhkan banyak sekali usaha untuk bisa menempatkan ‘sejarah yang kaya’ ini dalam posisi yang layak dalam dunia ilmu sosial. Tulisan ini boleh dikata hanya merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang lebih detail dan mendalam seputar teori sosial postmodern –sekaligus juga merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir yang mungkin kurang begitu dikenal seperti Sontag, Venturi, Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, Levi-Strauss. Di sini diandaikan bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoritikus sosial yang memainkan peranan penting –entah positif atau negatif– dalam pembentukan teori sosial postmodern seperti Marx, Durkheim, dan Weber.

Seni dan Kritisisme Kesusastraan
Seperti yang sudah kita lihat, akar pemikiran postmodern terletak dalam kesusastraan, arsitektur, teater, lukis, tari dan bidang-bidang yang terkait dengannya. Pemikiran-pemikiran tersebut lalu berinteraksi dengan post-strukturalisme yang pada proses berikutnya membentuk apa yang sekarang kita sebut sebagai teori sosial postmodern. Dalam bagian ini kita akan melakukan tinjauan sekilas atas sejarah postmodernisme dalam wilayah seni, dengan bersandar pada karya Hans Bertens [1995], The Idea of the Postmodern.

Istilah postmodern pertama digunakan sekitar tahun 1870-an. Konsep tersebut digunakan dalam sebuah judul buku terbitan tahun 1926 yang diperbaharui lagi pada tahun 1930-an dan 1940-an. Akan tetapi karya awal yang boleh dikata terisolasi tersebut hanya memiliki sedikit kesamaan dengan literatur postmodernisme yang muncul di tahun 1960-an. Sebuah dokumen kunci mengenai postmodernisme tak lain adalah eseinya Susan Sontag (1964/1967) yang berjudul “Against Interpretation”. Dalam esai tersebut Sontag memandang interpretasi sebagai sesuatu yang bersifat opresif dan melumpuhkan. Untuk menggantikan “makna-makna” yang diambil dari interpretasi, Sontag mencatat tentang pentingnya sensasi-sensasi yang serentak. Selain itu esai tersebut juga menekankan pentingnya tidak memperlebar perbedaan antara apa yang sering disebut sebagai budaya rendahan dan budaya adiluhung (low and high culture).

Figur kunci lain dalam periode ini adalah Leslie Fiedler [1969/1975], yang mengajukan kritik atas modernisme dan saudara kandungnya: rasionalisme dan humanisme liberal. Fiedler merasa bahwa kita sedang mengalami proses kematian modernitas serta kelahiran postmodernitas yang ditandai oleh merebaknya anti-rasionalitas, romantisisme serta senti-mentalitas. Fiedler juga menekankan pentingnya “yang lokal dan tribal” sebagai lawan terhadap kecenderungan modern yang bercorak esensial dan universal.

Selain dalam karya-karya kritik sastra, Bertens juga melihat adanya manifestasi awal postmodernisme dalam musiknya John Cage, susunan benda-benda karya Robert Rauschenberg serta novel-novel karya Alain Robbe-Grillet, John Barth dan Thomas Pynchon yang tidak percaya pada etika kaum modernis. Bertens [1995: 34] menyimpulkan: “dapat dikatakan bahwa apa yang sekarang dikenal sebagai agenda postmodern sebenarnya sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.”

Di sini juga akan meninjau post-strukturalisme dan reaksinya terhadap teori modern sebagai penyebab utama dan terpenting bagi kemunculan teori sosial postmodern. Namun Bertens [1955: 35] berkomentar “bahwa kemunculan teori postmodern pertama-tama adalah sebagai respon atas pembaruan seni kontemporer dan bukan karena pembacaan ulang kaum post-strukturalis atas teks-teks besar modernisme.”

Postmodernisme tumbuh luas dan tampil secara eksplisit tahun 1970-an. Figur utama dalam periode ini adalah Ihab Hassan [1971], meski karyanya sekarang lebih dipandang sebagai sesuatu yang punya arti penting secara historis ketimbang sebagai suatu karya yang berpengaruh dalam pemikiran postmodern kontemporer. Sebagai contoh adalah eseinya yang berjudul POSTmodernISME: A Paracritical Bibliography yang mengkritik tajam watak postmodernisme yang anarkis. Setelah memfokuskan diri dalam bidang kesusastraan, Hassan pun mulai menganalisis sektor kebudayaan yang lebih luas yang kemudian menjadi perhatian teori sosial postmodern. Figur sentral lain selama periode ini adalah William Spanos, dengan jurnalnya Boundary 2: A Journal of Postmodern Literature and Culture. Akan tetapi Spanos sangat dipengaruhi oleh eksistensialisme, yang mana hal itu menghalangi dia untuk menjadi yang utama dalam jajaran pemikir postmodern –dalam bidang bahasa. Sebagaimana diketahui, eksistensialisme sangat menaruh perhatian pada manusia sebagai subyek, sementara linguistik justru memproklamasikan akhir segala macam subyek (the end of subject). Orientasi politik paling radikal dari postmodernisme eksistensial Spanos juga tidak sesuai dengan nihilisme, suatu sikap yang dianut oleh postmodernisme dewasa ini. Akhir tahun 1970-an, Spanos beserta corak postmodernisme eksistensialnya pun tersingkirkan.

Beralih dari kritisisme sastra ke bidang arsitektur, Robert Venturi memainkan peran penting selama tahun 1960-an dan 1970-an, terutama dalam tulisannya “Complexity and Contradiction in Architecture” [1966] serta “Learning from Las Vegas” [1972] yang ditulis bersama Denise Scott Brown dan Steven Izenour. Venturi, peraih Pritzker Architecture Prize 1991, adalah “sosok yang diketahui secara umum telah membelokkan mainstream arsitektur dari kungkungan corak modernisme” [Bertens: 1995:53]. Venturi menekankan arsitektur yang ‘nampak’ berantakan, kompleks dan kontradiktoris, sebentuk arsitektur yang banyak mengambil inspirasi dari kebudayaan dan seni populer. Venturi ingin menunjukkan bahwa bukan cuma ada satu bahasa dalam dunia arsitektur. Ada banyak bahasa dalam arsitektur, dan oleh karenanya arsitektur tidak boleh diisolasi dari “bahasa-bahasa” yang dianggap lain.

Sementara itu pada pertengahan tahun 1970-an, Charles Jencks menerbitkan karyanya yang berjudul “The Rise of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1975] serta “The Language of Post-Modern Architecture” [Jencks, 1977] yang membuatnya menjadi “guru” Post-Modernisme [Bertens: 1995:57]. Jencks terkenal dengan idenya tentang “kode ganda”, yang salah sutu cirinya adalah tetap mengadopsi elitisme arsitektur tetapi sekaligus melengkapinya dengan kekhasan setempat. Dengan hal tersebut Jencks tidak bermaksud menggugurkan unsur-unsur yang modern, tetapi ia ingin memasukkan unsur-unsur yang dianggap “tidak lazim” dalam bidang arsitektur. Jencks juga mengemukakan pentingnya penandaan atas representasionalisme dalam arsitektur –suatu pandangan yang dengan segera ditolak oleh kaum postmodernis. Jenks berpandangan bahwa arsitektur mesti menjadi semacam bahasa (kind of language) yang merepresentasikan situasi kehidupan sehari-hari. Jencks juga mengantisipasi orientasi post-strukturalis dengan cara mengadopsi gagasan-gagasan semiotik: melihat arsitektur sebagai suatu jenis bahasa. Menurut Bertens [1995: 62], pandangan Jencks mengenai “kode ganda” ingin menekankan makna-makna plural, keterlibatan dan partisipasi para pengamat serta paduan kompleks representasi, ornamen, referensi historis, simbolisme dan humor.

Pada akhir tahun 1970-an, Bertens berpendapat bahwa pusat perkembangan postmodern telah beralih dari bidang kesusastraan dan arsitektur ke berbagai bidang seni lain termasuk fotografi, seni pahat dan lain-lain. Perkembangan ini menunjukkan adanya sejumlah perkembangan teoretis yang sangat penting, misalnya soal poststrukturalisme dan karya pemikir-pemikir seperti Jacques Derrida, Roland Barthes dan Michel Foucault. Ini dapat juga berarti bahwa fokus perhatian postmodernisme telah beralih ke persoalan tanda (sign) serta hubungan antara tanda-tanda tersebut dan bukan pada kenyataan material yang mereka inginkan untuk direpresentasikan. Termasuk di sini adalah pemikiran tentang seni atau budaya secara umum karena ia merepresentasikan realitas, di mana realitas dilihat sebagai sesuatu yang tidak dapat direpresentasikan dan tanda-tanda dilihat sebagai ekspresi bebas dari dunia nyata. Di dalam fotografi, Douglas Crimp berpendapat bahwa: “representasi selalu merupakan ilusi karena pengalaman tak dapat dielakkan selalu disampaikan oleh bahasa; pengalaman selalu tertandai… segala persepsi visual ditandai dalam suatu cara tertentu. Tidak ada suatu representasi di luar sana yang tertandai sejak semula, dan oleh karenanya seni selalu merupakan ‘salinan’ dari sebuah ‘salinan’ dan tidak ada subyek dalam pengertian tradisional tentang reprentasi” [Bertens, 1995:86-87].

Penolakan atas gagasan representasi realitas juga diajukan oleh fotografer Sherrie Levine lewat karya-karya fotografi kanoniknya. Penolakan serupa juga dilakukan Richard Prince lewat karya-karya advertisingnya seperti yang terlihat dalam majalah-majalah. Selain penolakannya atas representasionalisme, karya-karya tersebut juga menunjukkan sejumlah prinsip dasar postmodernisme. Karya-karya tersebut meruntuhkan gagasan-gagasan modern seperti originalitas dan otentisitas –karya-karya tersebut menempatkan gagasan-gagasan postmodern sebagai apropriasi dan hibridisasi. Dan yang paling penting, karya fotografi seperti itu merepresentasikan penolakan postmodern atas kepengarangan. Di sini bisa diajukan pertanyaan: siapakah yang layak disebut fotografer dalam kasus fotografi Sherrie Levine? Jelas sangat sulit untuk mengidentifikasi siapa pengarang atau fotografer dalam kasus tersebut.

Serangan terhadap ide kepengarangan, asal-usul dan representasi ini juga mengakibatkan serangan terhadap praktek-praktek tradisional dalam sejarah seni, juga mengenai cara bagaimana museum-museum dijalankan secara tradisional. Hal ini berkaitan dengan postmodernisme yang semakin berkembang secara politik di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Berkembangnya kesadaran ini menawarkan jalan keluar dari apa yang selama ini menjadi semacam kebuntuan – relativisme radikal, skeptisisme– yang diciptakan oleh post-strukturalisme. Sebagai contoh, kaum feminis melihat bahwa ide tentang pengarang terkait erat dengan prinsip patriarkhi –sebagian besar pengarang kanonik adalah laki-laki. Contoh lain adalah yang tampil dalam diri postmodernis-postmodernis Marxis yang melakukan serangan terhadap kontrol kapitalistik lewat seni dan kebudayaan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah karya-karya Hans Hacke yang didesain untuk menunjukkan hubungan antara seni dan kekuasaan, khususnya kekuasaan museum-museum kolektor-koletor seni entah pribadi atau korporat [Jameson, 1991].

Karya di bidang kesusastraan dan seni berlanjut sampai sekarang. Seperti disimpulkan oleh Bertens [1995:107], “postmodernitas tidak pernah menetap lama pada satu tempat tertentu.” Akan tetapi kita perlu, seperti yang dilakukan Bertens dalam karya-karyanya, mengalihkan diskusi ke sejumlah bidang bahasan lain seperti perkembangan bidang-bidang teoritik serta perannya dalam kemunculan teori sosial postmodern. (Bersambung ke Bagian Kedua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar