Kesadaran, kepekaan,
keberanian berpikir, keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu –semua ini adalah
sifat-sifat agung manusia yang ditemukannya pada pribadi ‘Ain Al-Quzat dan
didambakannya sendiri. Dan dengan ketajaman rasanya dia sadar bahwa dia pun
akan mengalami nasib seperti ‘Ain Al-Quzat, mati dini dalam usia muda. Karena
itu, tidak mengherankan, dia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan dan tidak
pernah gentar mengemukakan pendapatnya.
Tetapi dia tahu, bahwa
dalam masyarakat yang terdiri atas golongan tertindas dan terhina, dalam masa
kejahilan, di tengah gurun kealpaan atau lebih tepat lagi, dalam masa di mana
orang mengambil sikap melupakan dan mengabaikan kebenaran ―kesadaran dan
kepekaan tidak lagi identik dengan keberanian berpikir dan kekuatan kalbu.
Sebaliknya, mutu intelektualitas telah jadi identik dengan ambisi dan hasrat
akan kedudukan. Keadaan ini justru menyebabkan penindasan dan penghinaan
terhadap mereka yang sadar.
Dia (Ali Syari’ati),
dengan senyum pahit, mengecam para intelektual yang tidak memiliki keberanian,
bahkan malah turut serta dalam korupsi, mereka senantiasa menanti bingung di
persimpangan jalan dan tidak berani maju menghadapi ujian karena takut gagal. Baginya,
jalan yang telah dipilihnya bukan merupakan “langkah pertama”, melainkan
seluruh hidupnya. Sedangkan sikap bimbang ragu adalah sikap penghambaan
intelektual, yang secara metaforis kita sebut sebagai “intelektualisme”.
Seluruh hidupnya yang
singkat tetapi berarti telah digunakannya untuk berjuang secara berani, dan
dengan segenap daya dan kemampuan menentang lawan pikiran dan kemanusiaan yang
kawakan ini.
Sementara itu, dia
melancarkan perlawanan terhadap kebiasaan untuk menganggap sesuatu yang aktual
sebagai hal yang normal dan wajar sehingga dirasakan tidak perlu menggantinya
dengan yang ideal, terhadap pandangan bahwa hidup manusia adalah sia-sia dan
tanpa arti –terhadap kedangkalan dan kesombongan, terhadap candu yang bukan
saja telah merasuk sebagian terbesar umat, tetapi bahkan sekelompok pengawal
agama tauhid, melenakan mereka dalam keadaan antara tidur dan jaga, dalam
lamunan hampa dan telah menyelewengkan mereka dari jalan yang benar, yaitu
jalan yang ditandai oleh jatuh-bangun ―jalan yang menuntut keyakinan serta
hati-nurani yang waspada.
Dia melancarkan jihad
terus-menerus terhadap kekejian zaman dan masyarakat kita, masyarakat yang telah
layu akarnya. Maka untuk menyirami akar yang telah layu itu seruannya harus
dikorbankan, termasuk Ali Syari’ati sendiri, dengan cara menjadi syahid!
“Aku tidak bisa
tinggal diam dan tidak mengatakan sesuatu. Bila aku diam, rasanya aku bagaikan
seorang yang sedang sekarat yang tahu bahwa kedamaian dan keselamatan sedang
menantinya, yang telah jemu akan kesukaran hidup, yang tidak dapat berbuat lain
terkecuali menanti sepanjang hayat...Tidakkah kau lihat betapa nikmat dan
damainya kematian seorang syahid? Bagi mereka yang terbiasa akan rutinitas
harian, kematian merupakan tragedi yang seram, penghentian yang dahsyat dari
segalanya: lenyap dalam ketiadaan. Alangkah agungnya mereka yang memperhatikan
amar yang menakjubkan ini dan mengamalkannya ― “Matilah sebelum engkau mati”
(Kavir, hal. 55).
Setiap orang yang
mengenal Dr. Syari’ati tahu benar bahwa mempelajari dan membaca karya serta
buah pikirannya bukan saja bermanfaat tetapi juga bahwa cara hidupnya merupakan
refleksi pandangan dunianya yang tepat dan mendalam, seberkas sinar yang
memancar dari imannya. Berikut ini akan kami kemukakan sekadar garis besar
saja, suatu sketsa kehidupan yang sarat dengan amal, kegiatan, keyakinan, cinta
serta tanggungjawab ―kehidupan seorang manusia yang sadar dan penuh bakti. Atas
penyajian kami yang kurang memadai ini kami mohon maaf kepadanya dan kepada
sahabat-sahabatnya.
SKETSA HIDUP
ALI SYARI’ATI
Sungguh, yang menjadi
masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana
melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat
untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. Selain itu dia pun menyadari
benar, betapa berat amanah yang diwarisinya dari leluhurnya. Dia ingin memikul
amanah itu sebaik-baiknya sampai ke tempat tujuan, dan sebagaimana tercatat
dalam surat terakhirnya, sekejap pun dia tidak pernah menyia-nyiakan atau
membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil:
“Berkat rahmat Allah
Yang Mahakuasa, yang kasih ajaib-Nya menimbulkan malu dan perih dalam hatiku
dan hampir membuat batinku guncang meledak, karena kukira aku tidak pantas
untuk itu, telah kutempuh jalan itu sehingga aku tidak dapat membiarkan sekejap
pun dari hidupku untuk kesenangan pribadi. Kiranya Allah melimpahkan karunia
pertolongan-Nya kepadaku dalam mengatasi kelemahanku, dan adakah nikmat yang
lebih besar dari ini, bahwa hidupku yang tadinya tidak akan karuan, ditakdirkan
harus begini?” (Dari surat terakhir Syari’ati kepada ayahandanya).
Hidupnya tidak hanya
untuk mendukung amanah yang diwarisinya dan leluhurnya, tetapi juga untuk
menuntut kebenaran dan keadilan yang sepanjang sejarah di setiap zaman
merupakan amanah mereka yang tertindas, terhina dan teraniaya, amanah yang
telah dimanifestasikan sepenuhnya oleh Husain, pewaris Adam, beban yang telah dibawa
oleh Zainab ke dalam istana Yazid di Damsyik (Damaskus, Suriah), beban yang
semakin hari terasa semakin berat di pundak para pengabdi Allah.
Kesepian,
keterasingan, kegagalan, kekecewaan dan penderitaan jelas terlihat di gurun itu
berlumur darah; di angkatnya kepalanya di atas gelimang merah syuhada, dan
tegak senyap, seorang diri (Husain Pewaris Adam, hal. 16-17).
Dia meyakininya
sebagai warisan filsafat dan iman Islam untuk membangun suatu kesinambungan
yang terarah dan mengaliri aneka peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi
di berbagai waktu dan tempat. Satu sama lain para syuhada itu dihubungkan oleh
kesinambungan ini, mereka lahir dan mereka mati akibat suatu sebab logis dan
hukum ilmiah, mereka saling meneruskan serta saling mempengaruhi, dan
masing-masing menjadi mata rantai dari suatu rangkaian yang merentang sejak
awal kemanusiaan, Adam, hingga berakhirnya sistem kontradiksi dan pertarungan
di akhir zaman. Kesinambungan yang logis ini, gerakan maju yang pasti ini,
dikenal sebagai sejarah.
Tidak pernah sekejap
pun dia melupakan amanah sejarah yang berat ini, yang diwarisinya dari
leluhurnya dan menyinari seluruh hayatnya. Hidupnya bermula di gurun pasir dan
berakhir pada saat dia menemukan ideologi historis dan sosial yang utuh, suatu risalah
yang merupakan panduan intelektual bagi angkatan muda, suatu usaha menemukan
kembali “jalan tengah” yang didambakan zaman kita. Secara sadar dia melangkah
sepanjang garis nasib mereka yang menderita kepedihan zaman, maka bertambahlah
seorang lagi bilangan para syuhada dalam sejarah ―Suatu esensi suci pantaslah
menerima karunia Allah: Tidak setiap batu dan bungkal bisa menjadi marjan dan
mutiara.
Tidaklah kebetulan,
sebagaimana halnya banyak tokoh besar di bidang ilmu dan agama, hidup Syari’ati
berakar di pedesaan. Dia benar-benar bangga akan leluhurnya, yang merupakan
ulama-ulama terkemuka pada masa mereka, karena mereka telah memilih jalan hidup
menyepi di gurun Kavir, menghindari hingar-bingar kehidupan kota. Marilah kita
ikuti kata-katanya sendiri:
“Lebih kurang delapan
puluh lima tahun yang lalu, sebelum bermulanya Revolusi Konstitusional, kakekku
belajar ilmu kalam, filsafat dan fiqh pada pamannya dari pihak ibu, Allamah
Bahmanabadi, dan dia biasa terlihat dalam perdebatan filsafat dengan Hakim
Asrar. Meskipun tinggalnya jauh dan terpencil di desa Bahmanabad dekat Mazinan,
dia terkenal di kalangan terpelajar Teheran, Masyhad, Isfahan, Bukhara dan
Najaf. Terutama di Teheran dia dianggap sebagai seorang genius, sehingga
Nasiruddin Syah lalu mengundangnya ke ibukota.
Di sana dia mengajar
filsafat di madrasah Sipahsalar. Tetapi rupanya hasratnya untuk menyendiri dan
menyepi menggetar kuat dalam kalbunya menariknya pulang kembali ke Bahmanabad.
Padahal sebenarnya kedudukannya sudah mantap di ibukota, sehingga kalau mau dia
bisa memperoleh jabatan, kekuasaan, menjadi tokoh masyarakat serta menikmati
kemasyhuran dan pengaruhnya. Namun secara sadar semua itu
ditinggalkannya”.
Banyak yang diperoleh
Syari’ati dari leluhurnya: dia belajar filsafat untuk tetap menjadi manusia di
tengah-tengah kehidupan yang telah tercemar, di kala terasa sekali betapa
sukarnya untuk tetap menjadi manusia, di kala seruan jihad perlu diulang setiap
hari, dan di kala jihad tidak mungkin dilancarkan.
“Akhund Hakim ialah
kakekku dari pihak ibu. Alangkah mengasyikkan cerita mereka tentangnya
kepadaku. Dari cerita-cerita inilah berasal perasaan yang dalam serta tanpa
sadar di lubuk jiwaku...Seakan-akan dapat kulihat diriku hidup dalam dirinya
limapuluh atau delapanpuluh tahun yang lalu...dan aku berterima kasih kepadanya
karena apa adanya dan karena apa yang dilakukannya” (Kavir, hal. 9, dan
seterusnya).
Pamannya dari pihak
ibu pun merupakan salah seorang murid terkemuka dari ulama termasyhur, Adib
Nisyapuri. Tetapi, setelah belajar fiqh, filsafat dan sastra, dia mengikuti
jejak leluhurnya, kembali ke Mazinan. Syari’ati mengambil alih seluruh amanah
kemanusiaan dan intelektual yang diwariskan leluhurnya. Dia merasa bahwa mereka
tetap hidup dalam dirinya dan menerangi jalan yang ditempuhnya. Namun,
ayahandanyalah yang sebenarnya menjadi guru ruhaninya yang utama. Maka jadilah
sang anak refleksi yang benderang dari esensi ayahandanya.
“Ayahku merombak tradisi dan tidak pulang kembali ke desa setelah menyelesaikan
pelajarannya. Dia tinggal di kota dan berjuang gigih mempertahankan dirinya
dengan ilmu, cinta-kasih dan jihad di tengah-tengah gelimang noda kehidupan
kota...Diriku adalah hasil keputusannya untuk tetap di kota, dan akulah
satu-satunya yang mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkannya, harta yang
berupa kemiskinan...Akulah pendukung amanah kinasihnya yang teramat
berat...(Kavir, hal. 19).
Terutama yang menjadi
perhatiannya ialah untuk mengembalikan para remaja terpelajar modern kepada
Iman dan Islam, menyelamatkan mereka dari materialisme, pemujaan terhadap Barat
dan permusuhan rerhadap agama.
“Ide yang berkembang
dalam beberapa tahun belakangan untuk mempergunakan Al-Quran sebagai sarana
sentral dalam mengajarkan, mempelajari serta menyiarkan Islam dan Syi’ah, begitupun
ide untuk mendirikan suatu sekolah khusus tafsir Al-Quran terutama berasal dari
dia” (Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 162).
Kami menggarisbawahi
pengaruh ayahnya atas diri Syari’ati, karena sebagaimana setiap orang yang
mengenal cendekiawan yang berhati mulia ini kiranya bisa menyetujui ini akan
membantu kita memahami berbagai dimensi kehidupan Syari’ati. Sekaligus itupun
merupakan bukti, bahwa jika seorang genius dan cerdas ditempatkan di bawah
asuhan seorang guru yang cakap, bila dia menerima pendidikan dalam kondisi yang
memadai, maka dia akan mampu mematahkan batas-batas keawaman, menelanjangi
zamannya sendiri. Dia tidak akan sekadar menjadi penerima, melainkan akan
tumbuh menjadi sumber yang berwibawa –dia tidak akan pernah bersikap pasif,
melainkan akan aktif senantiasa.
Mereka yang mengenal
Syari’ati tua dan mengamati aneka dimensi kehidupannya, yaitu dimensi-dimensi
kearifan, religius, sosial, politik serta manusiawinya, tahu betul akan
pengabdiannya, ketekunannya, daya tahannya, kedalaman pengetahuannya. Mereka
pun mengenal tulisan-tulisannya di bidang agama maupun di bidang filsafat,
seperti: Khilafah dan Wilayah dalam Al-Quran dan Sunnah; Wahyu dan Kenabian;
‘Ali, Saksi Risalah; Janji Agama-Agama; Guna dan Keperluan Agama; Ilmu Ekonomi
Islam, dan terutama Tafsir Modern (Tafsir-i Nuvin)-nya.
Akhirnya mereka tahu
betul akan keberaniannya menentang semua anasir yang membekukan dan membunuh
bakat, yang bahkan terdapat di universitas-universitas serta lingkungan Islam.
Mereka menyadari peranannya yang penting dalam mengubah metode pendekatan
terhadap masalah-masalah Islam dan dalam memilih metode penelitiannya yang
tepat di zaman edan ini. Tidak banyak, dewasa ini, bapak dan anak semacam
mereka.
“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula
mengajarku seni berpikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah
memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan,
keikhlasan serta kebebasan batin. Dia-lah yang memperkenalkan aku kepada
sahabat-sahabatnya ― ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang
tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa
dalam perpustakaannya, yang merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarganya.
Banyak hal yang
sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian
pengalaman yang panjang serta harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang
lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan
remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya,
bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu;
bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh” (Ali
Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 89).
Tetapi mereka yang
genius dan berbakat selalu mematah batas lingkungan dan menelanjangi zamannya.
Seorang genius selalu menganggap kaidah-kaidah yang ada sekadar sebagai
titik-tolak untuk lompatan kreatif ke depan. Tidak pernah ia membiarkan diri
dikungkung dan dikekang oleh lingkungannya. Syari’ati menyadari benar akan
batasan lingkungannya maupun tentang bentuk-bentuk tradisional di sekitarnya.
Namun ia tidak akan menyerah. Bahkan ia telah bertekad untuk mengatasi semua
itu, mengarahkannya sesuai dengan keyakinannya. Dan ia berhasil. Ia mengajar
sambil belajar, dan berkembang secara intelektual dalam berbagai hal sehingga
setiap orang tahu bahwa ia telah melangkah melampaui batas lingkungan dan
zamannya.
Bakat, lingkungan yang
sesuai dan terutama keyakinan akan kebenaran Islam, bergabung dengan keikhlasan
pemikiran dan sikap intelektual dan personal, semua itu telah dimanfaatkan
Syari’ati sebaik-baiknya demi cita-citanya yang luhur. Berikut adalah
catatannya tentang lingkungan dan pendidikannya.
“Alangkah besar berkas
yang dikaruniakan dalam hidupku. Tidak mungkin aku menilainya. Tidak seorang
pun yang seberuntungku dalam hidup ini. Nasib telah mempertemukan aku dengan
pribadi, pribadi yang luar-biasa, besar, indah, bersemangat serta kreatif,
rasanya mereka berada dalam diriku. Bahkan sekarang pun bisa kuhayati kehadiran
mereka di dalam diriku, dan aku hidup melalui mereka dan dalam mereka...(Kavir,
hal. 88)
Sebagaimana halnya dengan pribadi-pribadi besar yang pernah menjadi gurunya,
maupun orang lain yang telah menggairahkan zikir dan jihad kepadanya, begitu
juga berbagai aspek ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan
cita-citanya, hidupnya selalu dalam keadaan tafakkur, bergerak dan
tanggung-jawab, berjuang demi kesempurnaan dan keabadian. Namun hidupnya tidak
pernah merusak hubungannya dengan lingkungannya semula maupun keluarganya dan
tidak pernah ia melupakan gurun Kavir. Setiap kali orang menyebut Mazinan
memancarkan senyum bahagia pada wajahnya.
Masa kanak-kanak dan
remajanya biasa saja, tidak berbeda dengan siswa lainnya. Ia sekolah, turut
ujian, setiap tahun naik kelas, mula-mula di sekolah dasar lalu di sekolah
lanjutan. Sementara itu ia pun sibuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama.
Setamat sekolah lanjutan atas, karena senang akan profesi guru, ia masuk ke
sekolah keguruan yang waktu itu merupakan lembaga yang harum dan penting,
mempersiapkan mereka, yang karena suatu dan lain hal tidak bisa masuk ke
universitas, untuk menjadi guru. Waktu itulah ia memulai kariernya sebagai
penulis dengan karya-karyanya antara lain Pendidikan Tengah (Maktab-e Wasita),
mengenai filsafat sejarah. Ia pun menyampaikan ceramah-ceramah di hadapan para
mahasiswa dan intelektual di Pusat Dakwah Islam di Masyhad.
Yang terutama
membentuk dan mempengaruhi jalan pikirannya bukanlah program studinya yang
konvensional. Juga bukan pendidikan tingginya di luar negeri. Melainkan
kegemarannya untuk belajar dan berpikir, serta kreativitas dan tanggung-jawab
yang berasal dari keyakinan Islamnya yang teguh. Begitu pun dari lingkungan
pertamanya, yang senantiasa menjadi sumber petunjuk baginya. Pusat Dakwah Islam
di Masyhad, yang selama tigapuluh tahun menjadi pusat kegiatan intelektual
Muslim di kota itu, banyak berjasa kepadanya. Sebaliknya ia pun berperanan
besar dalam kegiatan-kegiatan pusat dakwah itu dengan memberikan
ceramah-ceramah, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan memimpin
pertemuan-pertemuan.
Sejak dari mula, ia
sangat gemar menulis dan memberi ceramah sebagai sarana pengembangan
intelektual dan pendalaman iman. Apalagi ia memang memiliki kelancaran lisan
dan ketajaman tulisan. Dengan bahasa-bahasa Prancis dan Arabnya, bahkan sejak
sebelum ia masuk universitas, ia telah mampu menerjemahkan buku-buku dari
bahasa-bahasa itu. Buku terjemahannya tentang Abu Dzar Al-Ghaffari dari bahasa
Arab, dan sebuah buku tentang doa dari bahasa Prancis ― keduanya merupakan
kenang-kenangan masa pra-universitasnya ― membuktikan keluasan pikiran dan
ruang lingkup usahanya di masa itu. Lagi pula, kata pengantarnya yang jelas,
lancar pada kedua terjemahan itu, menunjukkan arah dan kejernihan pemikiran
ilmiahnya.
Dalam pandangannya,
Islam bisa dianggap sebagai aliran tengah di antara berbagai aliran filsafat,
sebagai jembatan antara sosialisme dan kapitalisme. Islam mencakup kebaikan dan
segi-segi positif aliran-aliran pikiran lain dan sebaliknya menghindarkan
segi-segi negatifnya.
Namun, ia sangat menaruh perhatian pada gerakan-gerakan ideologis dan anti
imperialis yang ketika itu sedang melanda dunia Islam, dari Afrika Utara hingga
Indonesia, serta mengisyaratkan aksi yang luas menyeluruh. Terjemahannya
tentang Abu Dzar Al-Ghifari maupun tentang doa yang kecil tetapi bernas itu,
keduanya merupakan hasil karya remajanya, telah menariknya kepada sumber-sumber
Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama
tentang kehidupan Rasul maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Jelas sekali pengaruh
Rasul serta tokoh-tokoh tersebut atas pribadi Syari’ati.
Pada tahun 1956,
Fakultas Sastra didirikan di Masyhad, dan Syari’ati bisa meneruskan studinya
sambil bekerja sebagai guru, ia termasuk mahasiswa pertama yang terdaftar di
fakultas itu. Di sini benturan-benturan pendapat dengan guru-gurunya semakin
mendorongnya untuk lebih memperkembangkan jalan pikiran pilihannya sendiri. Di
kelas maupun dalam kuliah yang dihadirinya ia selalu berperan aktif, tidak
pernah tinggal pasif sebagaimana kebanyakan mahasiswa. Kesempatannya yang baru
ini, untuk belajar, merenung, meneliti dan diskusi, ternyata telah menumbuhkan
minatnya dalam sejarah agama, sejarah Islam dan filsafat sejarah. Ia
mempertanyakan pelbagai hal, terutama tentang filsafat sejarah Toynbee, yang
banyak ditentangnya.
Kebebasan pikir dan
keyakinannya terbukti dari tekadnya membela kebenaran dan keadilan serta
perhatiannya yang khusus atas peristiwa-peristiwa keagamaan, sosial maupun
politik yang menyangkut nasib rakyat. Meskipun di kala itu suasana bisu
mencekam di mana-mana, namun tanpa gentar ia melibatkan diri dalam pertarungan
dan pertentangan sosial, dalam perjuangan antara hak dan batil. Karena
pidato-pidato, tulisan-tulisan serta kegiatan-kegiatan perlawanannya, maka
pemerintah mengawasinya.
Tidak pernah ia bisa tinggal
diam serta menerima keseimbangan negatif yang sudah mapan dalam masyarakat.
Secara serentak ia berjuang menghadapi dua front. Ia menentang kelompok
tradisionalis ekstrem yang telah membungkus diri mereka sendiri, memisahkan
Islam dari masyarakat, mengucilkan diri di sudut-sudut masjid dan madrasah
serta melancarkan reaksi negatif terhadap gerakan intelektual dalam masyarakat.
Mereka telah menyelubungi cahaya Islam dengan tabir gelap dan berkurung diri di
dalamnya. Ia pun menentang kelompok intelektual tanpa akar dan prakarsa yang
berlindung di belakang skolastisisme baru. Kedua kelompok itu telah memutuskan
hubungan mereka dengan masyarakat dan massa rakyat. Kepala mereka tunduk pada
korupsi dan dekadensi zaman modern.
Sumber Bahasa
Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma
Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah
Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.