(Disarikan dari tulisan
panjang Muhsin Pur Muhammad yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati, dengan
sedikit penambahan)
Ayatullah Al-Uzhma
Montazeri bercerita, ada seorang 'Alim Syi'ah melewati kelompok Sunni. Mereka
meminta agar 'Alim Syi’ah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan
kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam,
berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?”
Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji,
bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” 'Alim
Syi’ah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu
lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir
takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” 'Alim
Syi’ah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama, 23 tahun
tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah.
Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun, tetapi ia mengerti dan
memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih
cerdas dari Nabi saw.”
Tentulah kisah tersebut
merupakan sebuah sindiran halus, yaitu bagaimana mungkin Rasulullah tidak
memikirkan ummatnya jika beliau wafat, yang dengan demikian niscaya beliau
berwasiat tentang khilafah dan imamah demi masa depan kaum muslim, selain
imamah ini juga sesungguhnya telah ditegaskan oleh wahyu al Qur'an yang turun
saat Haji Wada' yang kemudian disampaikan oleh Rasulullah di Ghadir Khum. Di
mana ayat 67 surah Al-Maidah itu turun berkenaan dengan dipilihnya Imam Ali
sebagai imam dan khalifah yang menggantikan tugas dan kepemimpinan Rasulullah,
meski ketika Imam Ali dan Ahlulbait tengah sibuk memakamkan Rasulullah,
sejumlah sahabat malah menyelenggarakan konferensi di Saqifah untuk memilih
khalifah, di mana yang hadir di Saqifah itu adalah Umar bin Khattab sebagai
inisiator konferensi dan Abu Bakar, selain banyak yang lainnya.
Andai Imam Ali tidak
memikirkan ukhuwah dan mengabaikan resiko pertumpahan darah antara barisan
Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad Al-Aswad, Bilal,
Malik Ashtar yang dijuluki sang singa dari Yaman dan masih banyak lagi yang
mendukung Imam Ali dengan barisan Umar bin Khattab dan Abu Bakar, niscaya
beliau akan mengambil haknya. Maka karena itu, dikenal-lah istilah, "ia
yang merelakan haknya demi ukhuwah, adalah khalifah yang sesungguhnya."
Begitulah, setelah
Rasulullah saw pulang dari Haji Wada’, selama berhari-hari beliau hanya bisa
berbaring sakit di atas ranjang, dan tepatnya pada hari Kamis, ketika banyak
sekali sahabat yang berkumpul di sekeliling beliau, beliau bersabda: “Ituni bil
kitfi wad dawati aktubu lakum kitaban lan tadhillu ba’dahu abada”; Ambilkan aku
papan dan pena, karena aku ingin menuliskan sebuah wasiat penting untuk kalian
yang setelah itu kalian tidak akan tersesat dari jalan
yang benar selama-lamanya. Pada saat itu pula secara lancang Umar Bin Khattab
berkata: Orang ini sedang dirundung oleh rasa sakit yang parah sehingga dia
selalu mengigau, sekarang pun dia sedang mengigau, al-Qur’an bagi kita sudah
cukup –dan tidak perlu lagi pada wasiat tertulis atau yang lain–. Sebagian
orang yang hadir saat itu mendukung kata-kata Umar dan sebagian yang lain
mengatakan: Patuhilah apa yang beliau perintahkan. Perselisihan antara mereka
tidak bisa dihindarkan lagi, suasana berubah menjadi gaduh dan memanas sehingga
nyaris terjadi baku hantam di antara mereka.
Perselisihan umat Islam
dapat diselidiki dengan dua cara; historis dan teologis. Kendati dua kajian ini
tidak bisa dipisahkan secara total antara satu dengan yang lain, akan tetapi
masing-masing bisa memiliki pembahasan tersendiri. Dan apa yang menjadi
konsentrasi tulisan ini adalah penyelidikan yang pertama. Penyelidikan historis
perselisihan umat Islam harus dimulai dari masa hidupnya Rasulullah saw, apakah
pada masa itu telah terjadi perselisihan dan perpecahan umat Islam atau tidak?
Sudah barang tentu keberadaan Rasulullah saw sendiri merupakan cermin seluruh
wajah Islam dan berselisih dengan beliau berarti berselisih dengan Allah swt,
sebaliknya patuh kepada beliau berarti patuh kepada Allah swt. Maka dari itu,
perselisihan terhadap Rasulullah saw merupakan arus cabang dan penyimpangan,
konsekuensinya komunitas yang mengikuti arus itu tidak mungkin terbilang
sebagai mayoritas umat Islam.
Sementara itu di Mina,
saat umrah, Mereka bukan saja berteriak melainkan mereka membuat suasana
menjadi kacau balau dengan duduk dan berdiri yang terus mereka ulangi”. Menurut
laporan buku induk hadis Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal serta yang
lain, periwayat mengatakan bahwa sekelompok orang pada waktu itu membuat
suasana jadi sangat gaduh dan bising sehingga nyaris membuat telingaku menjadi
tuli!. Ada satu poin penting di sini yang jangan sampai dilewatkan begitu saja, yaitu ungkapan an-nas atau sekelompok orang di dalam
riwayat-riwayat ini, dan sangat mungkin jika orang-orang itu pula yang kemudian
di Ghadir Khum berusaha menghalang-halangi suara sabda Rasulullah saw untuk
sampai ke telinga hadirin dan pada akhirnya mukjizat Allah swt membungkam
telinga dan melumpuhkan usaha mereka tersebut lalu berfirman kepada beliau
(yang artinya):
“Hai Rasul, sampaikan apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan maka –sama
dengan– kamu tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah menjagamu dari
–bahaya– manusia”. (QS. AlMaidah: 67). Orang-orang itulah yang kemudian di
saat-saat terakhir hayat Rasulullah saw membantah permintaan beliau untuk
mengambilkan pena dan tinta agar beliau tuliskan wasiat penting sebelum
meninggal.
Arus pembangkangan
terhadap Rasulullah saw semakin serius dan sering terjadi pada akhir hayat
beliau. Di hari-hari menjelang kematian, Rasulullah saw memerintahkan Usamah
bin Zaid “Bentuklah pasukan besar lalu bergeraklah menuju Mu’tah, tempat
terbunuhnya bapakmu”. Praktis, Rasulullah saw telah mengangkat Usamah sebagai
panglima perang, dan saat itu beliau sangat menekankan kepada Usamah dan bala
tentaranya agar segera keluar dari kota Madinah, bahkan beliau juga menekankan
kepada orang-orang tua seperti Abu Bakar dan Umar untuk mematuhi perintah
panglima perang muda yang bernama Usamah. Akan tetapi pada kenyataannya ada
sekelompok sahabat beliau yang membangkang perintah beliau dengan alasan Usamah
masih terlalu muda untuk menjadi panglima kita. Dan ketika berita pembangkangan
itu sampai ke telinga Rasulullah saw, beliau marah sekali dan walaupun dalam
keadaan sakit beliau segera keluar dari rumah dan naik ke atas mimbar seraya
bersabda kepada komplotan pembangkang itu:
“Telah sampai kepadaku
berita pembangkangan kalian terhadap Usamah, dan betapa buruknya pembangkangan
itu? Dulu kalian pula orang-orang yang iri terhadap kepanglimaan bapak Usamah
dan kalian cemooh dia. Demi Allah, pada waktu itu dia (Zaid bapak Usamah) lebih
layak menjadi panglima perang daripada kalian, dan dalam hal ini putranya yang
bernama Usamah juga lebih layak daripada kalian”.
Demikianlah, salah satu
fenomena penting sejarah Islam yang secara serempak dicatat baik oleh literatur
Syi’ah maupun Sunni adalah fenomena yang terkenal dengan sebutan Petaka Hari
Kamis. Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair bahwa dia mengatakan, ‘Ibnu
Abbas sering sekali menangis. Kadang-kadang lama sekali menangis sampai tanah
di bawah kakinya menjadi basah, ketika itu dia selalu mengatakan: Hari Kamis,
oh Hari Kamis. Aku bertanya kepadanya: Apa gerangan
Hari Kamis? Dia menjawab: Hari Kamis adalah hari ketika mereka bertengkar satu
sama lain di sisi Rasulullah saw, padahal sungguh tidak pantas mereka
bertingkah konyol seperti itu di sisi beliau. Begitu pula telah diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan: Petaka oh petaka, semua malapetaka ini
bermula dari saat mereka halangi Rasulullah saw untuk menulis surat wasiatnya.
Soal penting apa yang
ingin ditulis oleh Rasulullah saw pada situasi yang sensitif itu mudah sekali
untuk dimengerti dari pembangkangan Umar Bin Khattab dan sejumlah orang yang
mendukungnya, yaitu soal wilayah dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib karramallahu wajhah, karena jelas pembangkangan itu dilakukan oleh
orang-orang itu juga, dan merekalah yang merasa ada bahaya, sudah barang tentu
penjelasan undang-undang universal atau hukum parsial bukanlah bahaya yang
mengancam mereka sehingga mereka terpaksa harus membuat kerusuhan seperti itu
dan menyakiti hati Rasulullah saw di depan umum. Anehnya, cerita papan dan pena
ini juga terjadi pada saat-saat akhir kehidupan Abu Bakar, dan walaupun pada
saat itu Abu Bakar sedang dalam keadaan pingsan dan belum sempat mengatakan
apa-apa akan tetapi Usman tetap saja menulis wasiat dari pihak Abu Bakar bahwa
orang yang berhak menjadi khalifah setelah dia adalah Umar. Walau kondisi yang
dialami oleh Abu Bakar lebih parah dari kondisi Rasulullah saw pada riwayat
papan dan pena akan tetapi ketika itu Umar sama sekali tidak mengatakan Abu
Bakar sedang mengigau, jelas hal itu karena target yang dia inginkan sedang
tercapai.
Menurut riwayat-riwayat
Syi’ah Imamiyah dan sebagian riwayat mazhab Sunni, Rasulullah saw meninggal
dunia pada tanggal dua puluh delapan bulan Shafar tahun sepuluh hijriah. Wafat
beliau telah menyelimutkan kesedihan ke seluruh penjuru Madinah, muslimin tidak
pernah menyaksikan hari yang lebih menyedihkan dari hari itu sehingga setiap
kali ada hari yang penuh petaka dan musibah setelah itu maka mereka
perumpamakan dengan hari wafatnya Rasulullah saw. Tepatnya ketika umat Islam
sedang dirundung duka nestapa, dengan suara lantang Umar bin Khattab berteriak:
Celakalah kalian semua, Muhammad tidak mati melainkan dia sedang menemui
Tuhannya sebagaimana Isa putra Maryam ... Barangsiapa yang mengatakan dia mati
maka akan kupenggal kaki dan tangannya. Soal apa kepentingan Umar di balik
permainan ini; apakah dia bermaksud untuk membius urat syaraf massa sampai Abu
Bakar, yang keluar keluar ke sekitar Madinah, datang dan bersama-sama dengannya
merealisasikan target-target yang sudah mereka rencanakan? Adalah tema yang
layak untuk didiskusikan.
Perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara sahabat khususnya pada akhir hayat Rasulullah saw dan penegasan beliau yang berulang-ulang mengenai hak Ali untuk menjadi khalifahnya memberitahukan kepada kita bahwa pada masa hidup Rasulullah saw minimal ada dua kategori besar yang memiliki mental dan kecenderungan yang berseberangan; satu di antaranya pasrah dan secara mutlak mematuhi sabda Rasulullah saw. serta tidak pernah lesu untuk memperjuangkan tuntutan beliau, orang yang paling terkemuka dari kategori sahabat ini adalah Ali bin Abi Thalib as, ada pun yang lain adalah sekelompok sahabat yang tanpa merasa ada beban dan secara terang-terangan melakukan pembangkangan terhadap Rasulullah saw, mereka tunjukkan pembangkangan itu di saat-saat terakhir hayat beliau dengan perhitungan yang matang dan perencanaan yang teliti sehingga terjadilah fenomena Saqifah. Pada saat itulah dua kelompok sahabat ini terpisah antara satu sama yang lain. Dan meskipun banyak sekali ayat al-Qur’an tentang kelompok munafik bahkan ada surat yang diberi nama al-Munafiqun namun setelah kejadian Saqifah dan Abu Bakar telah menduduki posisi khilafah tidak ada perlawanan terhadap kelompok munafik tersebut! Walaupun demikian kenyataannya, selama Rasulullah saw masih hidup umat Islam masih memiliki persatuan yang khas, tapi perbedaan dan pembangkangan sebagian dari mereka di saat-saat akhir hayat beliau telah melatarbelakangi perselisihan dan perpecahan yang lebih dalam pasca kematian beliau. (Bersambung)