Strukturalisme dan
Poststruktualisme
Mengikuti Scott Lash
[1991: IX], kita angkat “strukturalisme yang membentang dalam pemikiran sosial
Prancis pada tahun 1960-an” sebagai titik awal yang tepat untuk munculnya post-srukturalisme
dan postmodernisme. Strukturalisme itu sendiri merupakan reaksi terhadap
humanisme –terutama eksistensialisme filosof dan novelis Jean-Paul Sartre serta
fenomenologi.
Eksistensialisme Sartre
Dalam karya-karya awalnya,
Sartre memfokuskan perhatian pada level individu, terutama kebebasan
individual. Dia mengikuti pandangan bahwa masyarakat bukanlah subyek untuk atau
ditentukan oleh, hukum-hukum sosial. Dengan kata lain, manusia “tidak dapat
membenarkan tindakannya dengan referensi di luar dirinya sendiri” [Craib, 1976
:4).
Dalam Being and
Nothingness, Sartre [1943] menekankan kebebasan individual dan menganut
pandangan bahwa “eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan seseorang.
Manusia adalah apa yang ia lakukan” [Hayim, 1980:3]. Pada saat yang bersamaan,
Sartre menyerang pandangan sosiologis tentang “struktur obyektif sebagai
penentu keseluruhan tindakan.” Bagi Sartre, manusia adalah makhluk bebas,
mereka bertanggung-jawab terhadap apa yang dilakukan, mereka tidak perlu
mencari-cari alasan jika melakukan kesalahan. Dalam beberapa pengertian,
“tanggung-jawab kebebasan yang membingungkan” merupakan sumber penderitaan yang
hebat bagi manusia [Hayim, 1980:17]. Dalam pengertian lain, ini dapat menjadi
sumber optimisme. Manusia memegang nasibnya di tangan mereka sendiri. Dalam
karya-karyanya yang belakangan, misalnya Critique of Dialectical Reason, Sartre
[1963] mencurahkan perhatiannya pada pembahasan atas struktur sosial, namun
terkadang dia masih menekankan “hak prerogatif manusia atas transendensi–jauh
melebihi yang diberikan” [Hayim, 1980:16]. Dalam hal ini Sartre memang kritis
terhadap kaum marxis yang terlalu menekankan peran dan kekuatan struktur
sosial. “Dalam pandangan Sartre, kaum marxis yang dogmatik telah menyingkirkan
unsur humanistik dalam pemikiran asli Marx” [Hayim, 1980:72]. Sartre adalah
seorang eksistensialis tulen dan karena itu dia selalu memelihara humanisme
yang dia rasa telah hilang dalam diri sebagian kaum marxis.
Penentangan terhadap
humanisme model Sartre dilakukan kaum post-strukturalis dan postmodernis. Kaum
postmodernis dan post-strukturalis berusaha mengembangkan pemikiran sosial yang
tidak memusat (decenter), untuk mengalihkan perhatian dari “manusia” ke gejala
lain, terutama bahasa.
Fenomenelogi
Bapak fenomologi, Edmud
Husserl, tertarik pada studi ilmiah mengenai struktur dasar kesadaran manusia.
Dia berupaya menembus dasar-dasar yang dibangun oleh para pelaku (aktor) di
dunia nyata untuk mendapat struktur paling dasar kesadaran. Namun ini tidak
mudah dilaksanakan karena begitu para pelaku terlibat dalam proses yang aktif
dan kompleks untuk menata dunia, mereka sering tidak menyadari bahwa mereka
sedang menata dunia. Oleh karenanya mereka tidak pernah mempertanyakan dunia.
Bagi Husserl, ini adalah tesis umum dari “titik acuan alamiah”. Bagi para
pelaku, dunia sosial diatur secara alamiah dan bukan ditata oleh mereka. Sikap
alamiah ini merupakan hambatan terhadap penemuan proses-proses intensional.
Ketika sikap-sikap alamiah
ini terputus atau terpenjara, kaum fenomenologis dapat memulai untuk menguji
“kekayaan” kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti
mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan insidental yang cenderung
mendominasi kesadaran. Tujuan utama Husserl adalah untuk melihat seluruh
kandungan “ego transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan
bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis dan kultural.
Pemikiran mengenai “ego
transendental” menunjukkan kepentingan Husserl dalam kaitannya dengan “kandungan
paling dasar dari kesadaran manusia. Walaupun terkadang salah tafsir atas hal
ini, Husserl tidak memiliki konsepsi kesadaran yang mentalistik dan metafisis.
Bagi Husserl ini bukan soal sesuatu hal atau tempat, melainkan soal proses.
Kesadaran tidak ditemukan di dalam “kepala” pelaku tetapi dalam hubungan antara
pelaku dan obyek dalam dunia. Husserl menyebut halsemacam ini sebagai
“intensionalitas”. Baginya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu,
kesadaran akan obyek. Kesadaran ditemukan dalam relasi ini: kesadaran tidak
berada di dalam pelaku, kesadaran selalu bersifat relasional. Makna tidak ada
dalam kesadaran atau obyek, tetapi dalam hubungan pelaku dengan obyek. Konsepsi
kesadaran sebagai proses yang memberikan makna terhadap obyek inilah yang
menjadi inti fenomenologi. Banyak karakteristik fenomologi Husserlian –yakni
humanisme, subyek sebagai fokus bahasan, esensialisme dan ego
transendental—kelak mendapat serangan gencar dari kaum strukturalis maupun
post-strukturalis.
Strukturalisme
Dalam tingkat yang paling
umum, strukturalisme dapat didefinisikan sebagai upaya membongkar
struktur-struktur publik yang membawahi kegiatan manusia. Dari pandangan ini,
sebuah struktur didefinisikan sebagai: “Sebuah unit yang terdiri dari beberapa
bagian yang dijumpai dalam relasi yang sama dalam “kegiatan” yang dijalankan.
Unit ini tidak dapat dileburkan dalam satu unsur tunggal, karena kesatuan
struktur dibatasi tidak begitu banyak oleh hakikat utama unsur-unsur itu
sebagaimana dalam relasi mereka [Spivak, 1974:iv].
Disamping sistem dan
relasi, strukturalisme juga ditandai oleh penelitiannya mengenai hukum-hukum
umum yang membatasi struktur-struktur tersebut. Struktur perhatian
strukturalisme bukan dalam struktur dasar yang sama seperti yang telah menjadi
keprihatinan tradisional kaum sosiolog. Kaum sosiolog lebih menaruh perhatian
terhadap struktur-struktur sosial seperti kelas sosial dan birokrasi, sementara
kaum strukturalis lebih menaruh perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran
dari struktur sosial ke lingustik inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
”putaran linguistik” yang secara dramatis membahas hakikat ilmu-ilmu sosial
[Lash, 1991:ix]. Banyak pemikir sosial beralih dari struktur sosial ke struktur
bahasa, atau lebih umum, beralih ke tanda-tanda yang makin beragam [Gottdiener,
1995].
Stukturalisme muncul dari
perkembangan yang berbeda di dalam bidang yang berbeda, namun sumber
strukturalisme modern dan basisnya yang paling kuat dewasa ini adalah:
“bahasa”. Karya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mewakili perkembangan bahasa
struktural dan juga dalam bidang lain (Saussure, 1966, Culler, 1976). Hal
khusus yang menarik adalah pembedaan Saussure antara “langue” dan”parole”,
sebuah distingsi yang amat berarti bagi perkembangan, tidak hanya strukturalisme,
tetapi juga poststrukturalisme dan postmodernisme. “Langue” merupakan sistem
tata-bahasa formal. Ini merupakan sistem unsur “fonem” yang kaitannya diatur
oleh hukum yang khusus menentukan hal itu. Saussure dan pengikutnya percaya
itu. Banyak ahli bahasa sejak zaman Saussure telah membaktikan diri untuk
menemukan hukum-hukum tersebut. Adanya “Langue” membuat “Parole” mungkin.
“Parole” dalam percakapan setiap hari, cara yang oleh para pembicara
menggunakan bahasa harian untuk mengekspresikan diri mereka. Biarpun Saussure
mengenal makna penggunaan bahasa dalam cara subyektif dan sering
“idiosinkretik”, namun dia percaya bahwa pemakaian (bahasa) harian seperti ini
tidak dapat menjadi keprihatinan para ahli bahasa. Seorang linguis seperti ini,
harus berfokus pada “langue”, sistem bahasa formal, bukan pada cara subyektif
seperti yang digunakan para pelaku (“aktor”).
“Langue” dapat dipandang
sebagai sebuah sistem tanda. Sebuah tanda dapat dilihat sebagai keseluruhan,
sebuah struktur yang terdiri dari “penanda” gambaran bunyi yang didengar ketika
sebuah kata diucapkan, dan “yang ditandakan” gambaran bunyi yang dipakai untuk
menunjukan: makna kata yang ditangkap oleh pemikiran penerima. Saussure tidak
hanya tertarik pada “Signifier” (penanda) dan “Signified” (yang ditandakan)
tetapi juga di dalam hubungan mereka satu sama lain. Dari sudut pandang
sosiologis, Saussure tidak terlalu tertarik dengan “rujukan” (reference), hal
yang direfleksikan, karena ini merupakan bahasa (linguistik) ekstra (Genosko,
1994).
Menurut Saussure, bahasa
merupakan “sebuah sistem yang padat dimana semua bagian saling berhubungan”
(Marks dan de Courtivron, 1981:3). Terutama yang penting adalah relasi
perbedaan, termasuk “pertentangan” (lawan/coposisi) kembar. Misalnnya, makna
kata: “panas” tidak dari kekayaan intrinsik dunia “nyata” tetapi dari hubungan
kata depannya. Dia mempunyai oposisi kembar yakni: kata “dingin”. Struktur
bahasa membentuk makna, pikiran dan terakhir, dunia sosial. Bukan dunia
eksistensial orang yang membentuk lingkungan mereka, namun kata memiliki di
sini sebuah dunia dimana orang-orang, juga aspek-aspek lain dari dunia sosial,
dibentuk oleh struktur bahasa dan kodenyya, atau aturan menggabungkan
kata-kata. Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan aspek hidup
manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama diperkenalkan oleh Saussure dan
lebih penting oleh pemikir-pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda.
Perhatian pada struktur sistem tanda telah diberi label: “semiotik” dan menarik
banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977; Gottdiener, 1995). Semiotik lebih
luas dari bahasa struktural karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi
juga tanda lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, semua
bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.
Roland Barthes (1964/1967;
1970/1982) sering dilihat sebagai pendiri semiotik. Peranan terpenting dari
Barthes, dari sudut pandang pembahasan ini yakni: memperluas pemikiran Saussure
ke seluruh bidang kehidupan sosial. Barthes menegaskan: “Semiologi bertujuan
mengambil sistem petanda, apapun substansi dan keterbatasannya, gambaran,
isyarat, bunyi musik, obyek dan gabungan dari kesemuanya ini, yang membentuk
ritual, konvensi atau hiburan publik/umum, ini merupakan, jika bukan bahasa,
sekurang-kurangnya sistem signifikasi (Barthes, 1964/1967 : 9). Atau dalam
istilah yang lebih bebas: “tidak hanya bahasa, tetapi bersiul juga menandakan
praktis seperti pertunjukan TV, mode, memasak dan semua hal menyangkut
kehidupan setiap hari.
Figur utama lain dalam
strukturalisme Prancis, tentu Kurzweil (1980 : 13) menyebutnya “Bapak
Strukturalisme”, adalah antropolog Prancis Claude Levi Strauss. Strauss
mengembangkan karya Saussure mengenai bahasa dalam konteks masalah antropologis
– misalnya, mitos dalam masyarakat primitif. Ini membantu membuka pintu untuk
aplikasi strukturalisme secara lebih luas ke semua bentuk komunikasi. Terobosan
besarnya yakni: merekonseptualisasi sebuah aturan gejala sosial yang lebih luas
(misalnya, sistem kekeluargaan sebagai sistem komunikasi dan karena itu
membuatnya dapat diterima pada analisa struktural (Burris, 1979, Levin,
1981:25). Pertukaran pasangan, misalnya dapat dianalisis sebagai pertukaran
kata. Keduanya merupakan pertukaran sosial yang dapat dipelajari melalui
penggunaan antropologi struktural. Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss
(1967) dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem kekeluargaan.
Pertama, antropolog struktural menyukai fonem dalam bahasa, sebagai unit utama
untuk analisa. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di
dalam dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya hanya
bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian yang lebih besar. Strauss
bahkan memakai oposisi kembar di dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal
bahwa ada variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem fonemik
maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun menegaskan bahwa variasi ini dapat
ditelusuri ke tindakan umum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.
Strauss keluar dari
sebagian petunjuk di atas. Dia menegaskan bahwa: baik sistem fonemik maupun
sistem kekeluargaan adalah hasil dari struktur pikiran. Mereka bukan hasil
proses kesadaran, melainkan hasil proses ketidaksadaran, hasil struktur pikiran
logis. Sistem ini berlaku juga pada hukum umum. Mereka yang berpendapat lain,
tidak membiarkan strauss menekankan struktur pemikiran sebagai struktur yang
paling mendasar.
Varian strukturalisme lain
yang sukses di Prancis adalah: Marxisme Struktural, terutama karya Louis
Althusser, Nicos Poulantzas, dan Maurice Godelie. Telah ditegaskan bahwa
strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam tata bahasa, namun
demikian, ada yang berpendapat bahwa itu dimulai dengan karya: Karl Marx
“ketika Marx beranggapan bahwa struktur tidak boleh dicampuradukan dengan
relasi-relasi yang’visible’ dan menjelaskan logika tersembunyi, dia tidak
memberi harapan pada tradisi strukturalis modern” (Godelier, 1972 b:336).
Walaupun Marxisme struktural dan strukturalisme secara umum tertarik dengan
“struktur”, namun konsep mereka tentang struktur berbeda.
Banyak kaum Marxis yang
hanya mempelajari struktur sebagai awal studi mereka tentang sejarah. Maurice
Godelier mengatakan: “studi mengenai fungsi internal sebuah struktur, harus mengawali
dan menerangi studi tentang kejadian dan evolusinya” (1972 b : 343). Dengan
kata lain, Godelier mengatakan: “Logika sistem ini adalah bahwa sistem ini
harus dianalisa sebelum keasliannya dianalisa”. Pandangan lain dari kaum
strukturalis dan Marxis struktural yakni: strukturalisme harus berkaitan dengan
struktur atau sistem, yang terbentuk akibat relasi sosial. Struktur dilihat
sebagai sesuatu yang “real” meskipun hakikat strukturnya dilihat secara
berbeda. Bagi Strauss, struktur real adalah bentuk, mungkin pikiran, sedangkan
bagi kaum Marxis struktural, stuktural real menjadi dasar struktur masyarakat.
Mungkin lebih penting,
baik strukturalisme maupun Marxisme struktural menolak empirisme dan menerima
struktur-struktur yang tidak dapat dilihat. Godelier berpendapat: “apa yang
ditolak kaum strukturalis dan Marxis adalah definisi empiris mengenai apa yang
membentuk struktur sosial”. Godelier juga membuat pernyataan ini: “Bagi Marx,
seperti Levi Strauss, sebuah struktur bukanlah kenyataan, yang langsung dilihat
dan karena itu, dapat diselidiki, tetapi sebuah tingkat realitas yang berada di
luar relasi yang dapat dilihat di antara manusia, dan fungsi yang membawahi
logika sistem tersebut, yakni tatanan dimana tatanan-tatanan yang kelihatan
dapat dijelaskan” (Godelier, 1972 a : XIX).
Godelier melanjutkan
definisi segenap pengetahuan seperti ini: “apa yang dapat dilihat adalah
kenyataan yang berkaitan dengan yang lain, kenyataan yang lebih dalam, yang
tersembunyi dan penemuan apa yang menjadi tujuan pengetahuan ilmiah”. Disamping
kesamaan, Marxisme struktural tidak mengambil bagian dalam bahasa, melainkan
dalam pengetahuan sosial. Misalnya, perhatian khusus pada struktur-struktur
sosial dan ekonomi. Lebih dari itu, Marxisme struktural tetap berkaitan dengan
teori Marx, dan banyak pemikir sosial Prancis menjadi tidak sabar dengan teori
Mark karena mereka lebih banyak terlibat dalam eksistensialisme.
Poststrukturalisme
Strukturalisme
mempengaruhi pemikiran sosial, terutama di Prancis. Namun, segera muncul reaksi
luas menentang strukturalisme yang berlabel: poststrukturalisme.
Poststrukturalisme dapat dijelaskan sebagai sekolah pemikiran yang bersandar
pada strukturalisme (Kroker dan Levin, 1991), namun mengambil jarak dengan para
pemikir seperti Ferdinand Saussure, Roland Barthes, Claude Levi Strauss, Louis
Althusser, dan lain-lain. Tentu saja kaum poststrukturalis juga dibentuk dalam
pengertian yang positif, tetapi terutama negatif oleh banyak teori yang dibahas
diatas terutama eksistensialisme, fenomenologi, dan teori Freudian (juga
Marxisme).
Poststrukturalisme adalah
sekolah pemikiran yang tegas dan tak berbentuk. Misalnya, dia menekankan karya
seorang teorikus sosiologi, Pierre Bordeau (1977, 1984) juga pemikir Michel
Foucault yang tidak berada didalam struktur itu. Karya Bourdieu digolongkan
dalam: Teori sosiologi Modern (Ritzer,1966 c). Pertannyaannya adalah apa
perbedaan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme? Secara umum,
poststrukturalisme dianggap sebagai sebuah perintis intelektual bagi postmodernisme
(Bertens, 1995). Ini merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi Teori Sosial
Postmodern. Nyatanya, itu merupakan sumber informasi yang paling penting bagi
Teori Sosial Postmodern. Kaum poststrukturalis yang dibahas di buku ini,
Foucault memainkan peran penting. Namun,Foicault juga dianggap sebagai seorang
postmodernis (Best, 1994). Jadi, ada garis fleksibel, yang memisahkan antara
poststrukturalisme dan postmodernisme. Di dalam semangat postmodernisme, kita
akan menolak garis, terutama dalam karya yang kaya dan khas dari seorang
seperti Foucault.
Satu perbedaan umum
(dengan banyak kecualian) adalah bahwa: poststrukturalisme cenderung menjadi
lebih abstrak, lebih filosofis, dan kurang politis seperti postmodernisme,
semisal karya-karya Jacques Derrida, yang merupakan contoh bagus mengenai
pemikiran poststruktural, bahkan terkadang dia pun berpikir sebagai seorang
postmodernis. Di dalam renungan teoretisnya Derrida melihat sebuah transisi
yang sedang berjalan dari cara berpikir modern kepada sebuah bentuk pemikiran
yang melampaui modern (Derrida, 1967/1974 : 87). Namun, di sini kita dapat
memakai Derrida untuk menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan
poststrukturalisme. Sebuah titik awal yang baik yakni: Spivak yang membahas
kritisisme Derrida mengenai strukturalisme.
Kaum poststrukturalis
biasanya menyatu dengan strukturalisme pada saat bersamaan sehingga mereka coba
mengambil jarak darinya. Mengambil contoh khusus, Derrida mendasarkan
pikirannya pada karya Saussure sehingga pada saat bersamaan, dia mengkritik
Saussure karena mensubordinasikan dan mengeluarkan apa yang oleh Derrida
menjadi tulisan utama. Ini yang mengantarkan Derrida ke penciptaan bidang
“gramatologi” atau pengetahuan teoretis tentang tulisan. Derrida mengkritik dan
bergerak melampaui Saussure, karena dia tahu kenyataan bahwa Saussure yang
membuat bidang “gramatologi” menjadi mungkin. Ini merupakan “kekentalan” dalam
strukturalisme dan juga kritik simultan dan gerakan yang melampauinya, yakni
poststrukturalisme.
Kerangka karya
poststruktural penting lainnya termasuk psikoanalis Prancis, Jacques Lacan
(1901), juga sumbangan pengikutnyadan muridnya, dan terkadang kritik kemudian
muncul, terutama Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Helena Cixous. Lacan tentu
saja membangun di atas teori Freud dan menggabungkannya dengan pikiran-pikiran
lain, terutama segi bahasa Saussure. Lacan terkenal denga pernyataan seperti:
“apa yang tidak sadar disusun seperti bahasa” (dalam Kurzweil 1995 : 98).
Ketika psikoanalis beruntung dengan adanya biologi, Lacan berpendapat bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan bagian sentral dari apa yang tidak
sadar/disadari, (ketidaksadaran). Lebih umum, setiap individu dilihat sebagai
orang yang terformat di dalam bahasa. Bahasa menjadi hal yang utama dalam
bidang psikoanalisis.
Menurut Lacan, bahasa
selalu berjalan pada 2 bidang. Tugas psikoanalisa adalah mencari penyebab
komunikasi detektif. Adalah bahasa yang menjadi penyebab tidak beresnya
komunikasi antar-pribadi. Ada aturan struktural bagi gangguan ini sehingga
membuat aturan itu dapat dipelajari baik terapi maupun bidang yang terkait
dengannya. Ini merupakan sejenis aturan struktural yang mempengaruhi Lacan
mematematisir psikoanalisa.
Pemiikiran Lacan
berpengaruh dalam sejumlah bidang, terutama Kristeva, Irigaray, dan Cixous
mempunyai pengaruh besar di zamannya. Kita akan mudah melihat kaitan pemikiran
mereka dengan teori postmodern Feminis Amerika. Mereka pun punya sumbangan
terhadap analisis struktural. Misalnya, menciptakan: “Semanalisis” yang tidak
hanya berkaitan dengan faktor komunikatif dalam bahasa melainkan juga dengan
faktor-faktor material seperti bunyinya, iramanya, dan kemampuan grafik. Dia
juga menekankan pentingnya bahasa puitis yang menentang formalisasi. Di dalam
mengaitkan bahasa dengan psikoanasisa, Kristeva melihat sebagai paradigmatik,
terutama menerima relasi cinta antara analis dan pasien. Menurutnya, Irigaray
berpendapat penyakit jiwa (suka mengasingkan diri) memiliki bahasanya sendiri
dan “mengigau” juga mempunyai aturan bahasa sendiri, bahkan kenyataannya sering
tidak digubris (dianggap sepele). Poststrukturalisme menyediakan latar belakang
dan cara yang tidak dapat dipisahkan dari teori sosial postmodern.
Konteks Sosial
Sampai sejauh ini, kita
fokuskan diri pada pikiran-pikiran struktural, poststruktural dan postmodern.
Namun, pemikiran ini tidak muncul di dalam kekosongan sosial dan intelektual.
Kita akan menyelidiki beberapa faktor kontekstual yang ada dalam perkembangan
teoritis yang menjadi keprihatinan kita. Agar pembahasan ini terarah, kita lebih
fokus pada Prancis, karena di sanalah pusat alias inti perkembangan teoritis
dari keprihatinan alias perhatian kita. Selama dan setelah Perang Dunia II,
kehidupan intelektual di Prancis di dominasi oleh teori Marx. Namun banyak kaum
intelektual yang menganggap utopis komunisme gaya Rusia tersebut. Mereka lebih
tertarik pada eksistensialisme Sartre, terutama janji untuk memenuhi kebutuhan
individu di dunia modern. Hanya saja, pikiran Sartre mulai tidak dicintai lagi
karena dia terus mendukung komunis. Di dalam penelitian mereka untuk sebuah
perspektif teoretis-alternatif, beberapa ahli terpesona dengan strukturalisme,
yang mengizinkan mereka tetap menjadi sosialis sambil menyerahkan karyanya yang
tidak berlandaskan teori Marx. Strukturalisme juga mendorong mereka yang ingin
mengembangkan pengetahuan yang memberi aksentuasi pada manusia sebagai subyek.
Revolusi Mahasiswa radikal
tahun 1968 merupakan percikan dalam perkembangan intelektual di Prancis.
Gagalnya revolusi itu dan malasnya kelompok-kelompok mahasiswa semakin memberi
kesan bahwa Marxisme itu ilusif, dan secara umum, harapan akan adanya solusi
revolusi bagi masalah-masalah kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Perasaan itu
muncul dalam beberapa dekade terakhir karena komunisme di Soviet runtuh dan di
tempat-tempat lain. Di Prancis, pemilihan presiden sosialis, Francois Mitterand
gagal membawa perubahan yang dijanjikan.
Demokrasi Sosial di
seluruh Eropa yang telah menciptakan program kesejahteraan mulai yakin bahwa
mereka tidak perlu lagi mendukung program seperti itu. Kegagalan ini meyakinkan
mereka bahwa harapan lama akan adanya solusi agung adalah ilusi semata-mata.
Perubahan sosial dalam skala besar membuat jelas bahwa sarana-sarana teoretis
lama tidak cukup, pikiran-pikiran teoretis dan prospektif baru diperlukan. Peta
dunia dengan kolonialisme dibongkar, dan dekolonisasi dimulai. Banyak negara
baru dan merdeka mulai menemukan eksistensinya. Dipimpin oleh kaum Feminis,
berbagai gerakan sosial muncul, suara-suara baru muali didengar di Prancis dan
di seluruh dunia. Kelompok-kelompok ini menyerukan “kekuasaan” yang lebih besar
atas hidup mereka, juga di dalam masyarakat yang mereka tinggal.
Ekonomi negara-negara
maju, termasuk Prancis, berkembang namun kemiskinan dan penyakit sosial lain
tetap ada. Ekonomi terus berubah dengan banyak industri baik lewat penghematan
maupun restrukturisasi. Akibatnya, banyak orang menganggur dan lebih banyak
lagi yang karirnya putus atau tidak menentu. Ekonomi beralih dari dominasi
pekerjaan-pekerjaan produksi Fordist ke pekerjaan model pelayanan (service
type) post-Fordist. Penekanannya lebih pada konsumsi dan bukan produksi, “kita
akan dan sedang menyaksikan munculnya masyarakat konsumeristis”.
Kunci utama menuju
masyarakat konsumeristis, yakni perkembangan mass media terutama televisi.
Televisi tidak hanya memberi pelayanan iklan kepada masyarakat konsumeristis,
tetapi juga membombardir masyarakat dengan berbagai ‘image’ yang secara
dramatis mempengaruhi dan merubah hidup mereka. Televisi membawa ledakan
informasi. Teknologi informasi berkembang dan meledak dalam skala besar dengan
muunculnya komputer di rumah-rumah. “Image” yang ditawarkan televisi, komputer
rumah membawa pengaruh besar kepada manusia, juga kekuasaannya. Kita tidak
dapat mendekati semua jangkauan perubahan sosial yang mempengaruhi kita dan
meminta keprihatinan kita. Cukuplah untuk mengatakan bahwa ada banyak faktor
yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya pemikiran poststruktural dan
terutama pemikiran postmodern. (Bersambung ke Bagian Keempat)