Hingga saat ini,
Bangsa Kurdi hidup di empat negara: Iran, Suriah, Turki & Irak. Meski demikian, banyak orang-orang Kurdi yang melakukan
diaspora, seperti ke Eropa, Rusia, Amerika, dll. Artis-artis terkenal, semisal
Golshifteh Farahani (yang diusir Pemerintah Iran karena berpose telanjang di
majalah ’Barat’), Tuba Buyukustun dan masih banyak yang lainnya adalah
contoh-contoh bangsa Kurdi. Dan sebagaimana diketahui bersama, saat ini, yang
paling dipusingkan (dan yang terkenal paling berkonfrontasi) dengan bangsa
Kurdi adalah Turki.
Di Suriah saat
ini, contohnya, yang entah bersama Tentara Arab Suriah atau dengan kehendak
mereka sendiri, bangsa Kurdi, terutama kaum perempuannya, harus bertempur
dengan ISIS dan geng-geng perang bentukan Turki (Erdogan), yang mana selain
membantu ISIS, Turki juga membentuk geng perang yang diarahkan untuk menghantam
orang-orang Kurdi. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, jet-jet tempur Turki
membombardir orang-orang Kurdi di perbatasan Turki dan Suriah yang membuat
marah dunia internasional dan bangsa Kurdi di perantauan.
Secara historis,
catatan paling awal mengenai ‘bangsa’ Kurdi ditemukan dalam dokumen Raja
Tiglath-Pileser I yang memerintah Assyria dari 1114 hingga 1076 Sebelum Masehi.
Disebutkan bahwa daerah “Qurti” di gunung Azu termasuk salah satu wilayah yang
berhasil ditaklukkan oleh sang raja. Bagi orang Akkadian, sebutan “Kurti”
digunakan untuk menunjuk mereka yang tinggal di kawasan pegunungan Zagros dan
Taurus Timur, sedangkan orang Babylonia menyebut mereka “Guti” dan “Kardu”.
Sumber Yahudi, Talmud, beberapa kali menyebut tentang bangsa “Qarduim”.
Sementara itu,
dalam catatan ekspedisinya pada tahun 401 SM, Xenophon menceritakan
pertemuannya dengan orang-orang “Kardykhoi”. Ini diikuti oleh Polybius (130 SM)
yang menyebut mereka “Kyrtioi”, dan Strabo (40 M) yang me-latin-kannya menjadi
“Cyrtii”.
Menurut Profesor
Izady, setidaknya sejak kurun pertama Masehi, istilah “Kurd” mulai umum dipakai
untuk menyebut siapa saja yang mendiami wilayah pegunungan dari Hormuz hingga
ke Anatolia. Adapun sejarawan Islam seperti Ath-Thabari, Al-Ya‘qubi, Al-Mas‘udi
dan Yaqut, mengakui keberadaan etnis Kurdi sama seperti etnis lainnya (Arab,
Parsi, Turki, dan sebagainya).
Karakter
geografis Kurdistan yang terdiri dari gugusan perbukitan, struktur sosial yang
sangat sarat sentimen tribalisme, serta sistem mata pencarian yang mengandalkan
pertanian dan menggembala memang membuat bangsa dan wilayah Kurdistan menjadi
semi-eksklusif sepanjang sejarahnya selama sekitar 3.000 tahun.
Sepanjang
sejarahnya, tidak ada satu bangsa atau kekuatan pun yang mampu menguasai secara
penuh bangsa dan wilayah Kurdi, juga sering disebut sebagai Kurdistan. Yunani,
Romawi, Persia, dan bahkan dinasti berbasis Islam selalu gagal menundukkan
secara penuh bangsa Kurdi. Pada era modern pun, sistem yang melahirkan negara
seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah gagal pula menguasai secara penuh wilayah
Kurdi.
Namun, secara
geopolitik, karakter geografis Kurdi justru membawa petaka karena harus
menerima wilayah itu terbagi di antara lima negara pasca-Perang Dunia I.
Terpecahnya
geografis, sejarah, dan politik bangsa Kurdistan terjadi pertama kali pada
tahun 1514 menyusul pertempuran Chaldiran antara Dinasti Safavid dan Ottoman
yang membawa mereka menandatangani sebuah perjanjian pembagian pengaruh di
wilayah Kurdi.
Pemecahan wilayah
Kurdi tahap kedua dilakukan dalam perjanjian Sykes Picot antara Inggris dan
Perancis dengan dihadiri wakil dari Kaisar Rusia pada tahun 1916. Kemudian,
proses pemecahan Kurdi berlanjut berdasarkan perjanjian Sevres tahun 1919 dan
perjanjian Lausanne tahun 1923.
Dalam berbagai
perjanjian tersebut dicapai pembagian final wilayah dan bangsa Kurdi, yaitu
Kurdi Utara (Turki) yang memiliki wilayah terluas, yakni 194.000 kilometer
persegi dengan penduduk sekitar 13 juta jiwa; Kurdi Timur (Iran) yang memiliki
wilayah terluas kedua, yakni 125.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar
8 juta jiwa; Kurdi Selatan (Irak) yang memiliki wilayah terluas ketiga, yakni
72.000 kilometer persegi dengan penduduk 6 juta jiwa; Kurdi Barat (Suriah) yang
memiliki wilayah terluas keempat, yakni 18.000 kilometer persegi dengan
penduduk 1 juta jiwa; dan Kurdi Armenia (bekas Uni Soviet) yang memiliki luas
18.000 kilometer persegi dengan penduduk 1 juta jiwa.
Tercabik-cabiknya
wilayah Kurdi itu membuat pupusnya impian bangsa Kurdi memiliki negara sendiri.
Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani (1900-1979), sepanjang hidupnya dikenal
berjuang bagi berdirinya negara Kurdi.
Memang di bawah
pimpinan Mustafa Barzani sempat berdiri negara Kurdi, dengan nama Negara
Mahabad (tahun 1946) di wilayah Kurdistan Iran. Namun, eksistensi negara ini
buyar. Pembagian wilayah menjadi faktor penyebab terjadinya keretakan dalam
struktur budaya dan politik bangsa Kurdi. Mereka berada di bawah sistem politik
pemerintahan pusat yang memang berada di negara-negara yang menjadi tempat
keberadaan bangsa Kurdi.
Sebelum kehadiran
Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Parsi (Persia) kuno seperti Zoroaster,
Mithraisme, Manichaeisme dan Mazdak. Beberapa kuil penyembahan api peninggalan
zaman itu masih terdapat sampai sekarang, antara lain di Ganzak (Takab), Bijar.
Mereka juga sempat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Nasrani. Namun demikian,
pengaruh agama-agama tersebut hampir semuanya terkikis habis dengan datangnya
Islam di abad ke-7 Masehi. Patut dicatat, Kurdistan terletak tidak jauh (hanya
50 mil) dari Baghdad dan 200 mil saja dari Damaskus; keduanya merupakan pusat
pemerintahan, perdagangan, dan keilmuan di kurun-kurun pertama Hijriah
(penanggalan Islam).
Karena itu tidak
mengherankan jika saat ini mayoritas orang Kurdi (60 %), terutama yang
berbahasa Kurmanji, adalah pemeluk Islam Sunni yang bermazhab Syafi‘i. Sebagian
kecil (sekitar 1 juta orang) menganut Islam Syi‘ah, khususnya yang tinggal di
Kirmanshah, Kangawar, Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan timur Kurdistan
(bagian Iran), serta mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman dan Maras di
barat Kurdistan (bagian Turki).
Di zaman
pra-Islam, orang Kurdi menggunakan bahasa Pahlavi, bahasa Parsi (Persia) kuno
yang masih serumpun dengan Sanksekerta dan bahasa-bahasa Eropa. Setelah
kedatangan Islam dan invasi nomad Turki, orang-orang Kurdi mulai menggunakan
dialek suku Kurmanj, sebuah kabilah energetik dari dataran tinggi Hakkari yang
berhasil membendung pengaruh Turki di Kurdistan. Begitu kuatnya pengaruh suku
Kurmanj hingga mayoritas orang Kurdi masih banyak yang menyebut diri mereka
“Kurmanj” dan bahasa mereka “Kurmanji”. Adapun sekarang ini, terdapat dua
dialek utama dalam bahasa Kurdi: pertama, Kurmanji, dan kedua, Sorani (atau
sering juga disebut “Kurdi”). Sub-dialeknya antara lain: Kirmanshah, Leki,
Gurani dan (Dimili) Zaza.
Mengenai
sub-suku, sejarawan Kurdi Syarafuddin Bitlisi (wafat 1597 Masehi) menyatakan
dalam kitabnya Sharafnamah (Mukadimah 7-9) bahwa bangsa Kurdi terbagi empat,
masing-masing mempunyai dialek dan adat-istiadat sendiri, yakni Kurmanj, Lur,
Kalhur, dan Guran.
Seperti layaknya
penduduk pegunungan, suku Kurdi hidup menetap dengan mata pencaharian pertanian
dan peternakan. Namun setelah invasi bangsa Arya dan Turki ke wilayah mereka,
sebagian mereka memilih cara hidup nomad (berpindah-pindah).
Bangsa Kurdi
terkenal berani, kuat dan gigih. Mereka banyak berperan dalam menyebarkan dan
membela Islam. Tidak sedikit tokoh-tokoh agama (ulama), pemimpin dan pejuang
Islam yang notabene adalah suku Kurdi. Sebut saja, misalnya, Ibn Khallikan (w.
681 H/ 1282 M, sejarawan, pengarang kitab Wafayat Al-A‘yan ), ‘Syaikh Ibn
Taymiyyah (w. 728 H/ 1328 M), Ibn Al-Atsir (w. 630 H/ 1232 M, pengarang Usud
Al-Ghabah, Ibn Qutaybah Al-Dinawari (w. 276 H/ 889 M, pengarang kitab Ta’wil
Musykil Al-Qur’an), Ibn Ash-Shalah As-Syahrazuri (w. 634 H/ 1236 M, pakar ilmu
hadis yang terkenal dengan Muqaddimah-nya), Syaikh Ibrahim Al-Gurani (pengarang
kitab Ithaf Adz-Zakiyy), Badi’uz-Zaman Al-Hamadani (w. 1007 M, pengarang kitab
Al-Maqamat) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah satu budaya
Kurdi adalah Tarian Kurdi tradisional dari Balkan, Libanon, dan Irak. Menurut
Ensiklopedi Islam, Kurdi bernyanyi dan menari di semua festival ulang tahun
mereka, dan upacara pernikahan. Folkloric tarian ini adalah salah satu faktor
utama dalam membedakan Kurdi dari tetangga populasi Muslim. Tari Kurdi memiliki
berbagai versi dan banyak seperti berikut: Dilan, Sepe, Geryan, Chapi. Beberapa
upacara tradisional Kurdi atau festival meliputi: Pir Shalyar, Buka Barana,
Newroz. Warisan budaya Kurdi berakar di salah satu kebudayaan tertua di dunia.
Sesuai dengan
sejarah politik Kurdi yang cukup tua, bangsa Kurdi termasuk bangsa yang kurang
beruntung. Bahkan, Kurdi disebut sebagai bangsa tragis akibat karakter
geografis, sentimen tribalisme, tirani, dan kolonialisme.
Tragedi bangsa
Kurdi itu pun kemudian dikenal dengan nama “problem Timur”. Ironisnya, problem
Kurdi sering kali dilupakan, diabaikan. Tidak ada pembelaan terhadap bangsa
Kurdi, bahkan dijadikan komoditas politik kekuatan regional maupun
internasional untuk tujuan politik tertentu. Walau kartu Kurdi dipakai, sama
sekali tanpa ada niat tulus dari siapa pun untuk mencari solusi yang adil soal
eksistensi bangsa Kurdi. Karena itu, tidak heran jika Kurdi pun seperti duri
dalam daging bagi setiap pemerintah pusat di negara-negara modern saat ini,
seperti Turki, Irak, Iran, dan Suriah.
Negara-negara itu
juga sepakat mencegah dengan segala cara berdirinya negara Kurdi yang berdaulat
di mana pun. Negara-negara itu beralasan, jika Kurdi memiliki negara sendiri di
salah satu wilayah negara tersebut, hal itu akan mengobarkan nasionalisme
seluruh bangsa Kurdi. Selanjutnya, hal ini bisa mengancam kekuasaan mereka pada
wilayah Kurdi di negara masing-masing.
Bahkan, ada
kesepakatan tidak tertulis di antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah untuk
mencegah lahirnya negara Kurdi walau pada saat bersamaan mereka bisa
menggunakan kartu Kurdi untuk mengganggu negara tetangga yang lain. Misalnya,
Iran atau Turki sering menggunakan kartu Kurdi Irak untuk menggoyang pemerintah
pusat di Baghdad, dan demikian juga sebaliknya.
Ada beberapa
faktor yang membuat bangsa Kurdi terserak-serak dan gagal mewujudkan impian
untuk memiliki negara sendiri.
Pertama,
kentalnya sentimen kesukuan yang membuat bangsa Kurdi tidak pernah bersatu
secara kebangsaan. Hal ini menyebabkan sulitnya lahir seorang pemimpin Kurdi
yang bisa menyatukan bangsanya. Walau memiliki satu identitas, yakni Kurdi,
kelompok ini juga terbagi-bagi lagi ke dalam berbagai suku.
Kedua, Kurdi
menjadi korban kediktatoran pemerintah pusat di negara-negara di mana bangsa
Kurdi berada menyusul pembagian pasca-Perang Dunia I.
Ketiga,
kolonialisme turut merobek-robek kesatuan bangsa Kurdi. Bahkan, kolonialisme
memanfaatkan sentimen kesukuan di antara kelompok Kurdi untuk mengadu domba
sesama bangsa Kurdi.
Para pemerintah
diktator yang menaungi bangsa Kurdi itu, misalnya, tidak mengakui eksistensi
bangsa Kurdi. Pemerintahan diktator itu juga menolak eksistensi bahasa Kurdi di
negaranya. Turki, Iran, dan Irak yang memiliki warga Kurdi dalam jumlah besar
juga tidak mengakui keberadaan bangsa Kurdi di dalamnya. Pemerintahan di
negara-negara tersebut bersikukuh hanya satu bangsa, budaya, dan bahasa di
negara mereka. Jika realitas sosial di negara-negara itu ada banyak budaya dan
bahasa, maka yang diakui hanya satu dan yang lain harus disingkirkan. Kurdi
selalu menjadi korban. Itulah realitas politik yang dihadapi bangsa Kurdi di
Turki, Iran, Irak, dan Suriah.
Pendiri Turki
modern, Mustafa Kemal Ataturk, misalnya, menolak mengakui keberadaan bangsa
Kurdi di Turki serta melarang bahasa Kurdi diajarkan di sekolah-sekolah. Kemal
Ataturk menolak menyebut nama Kurdi dan menamakan bangsa Kurdi di Turki sebagai
bangsa Turki pegunungan. Sensus penduduk di Turki sampai saat ini menjuluki
kelompok yang ada di Turki sebagai Kurdi Turki pegunungan.
Saddam Hussein di
Irak tidak kalah brutalnya dibandingkan dengan Kemal Ataturk. Saddam bahkan
pernah melakukan aksi pembumihangusan atas 1.000 desa Kurdi dan menyebarkan
penduduk desa-desa tersebut ke seluruh penjuru Irak. Ada juga kasus pembantaian
terhadap warga Kurdi di Halabjah, Irak, tahun 1988, dengan menggunakan bom
kimia. Ini merupakan salah satu perbuatan terkeji Saddam Hussein terhadap warga
Kurdi.
Di mata dunia,
Kurdi adalah potret etnis yang malang. Mereka tercerai-berai di seantero empat
negara berbeda: Turki, Suriah, Irak dan Iran. Sedihnya lagi, karena menjadi
minoritas di keempat negara itu, sering kali kepentingan bangsa Kurdi diabaikan
oleh pemerintah masing-masing negara tempat mereka berdiam. Akibatnya gampang
ditebak, mereka ingin memisahkan diri dari negara induk masing-masing lalu
mendirikan negara Kurdi.
Tentu saja
keinginan mereka, yang dinilai sebagai gerakan separatisme, segera ditentang
oleh pemerintah masing-masing negara. Bahkan tidak hanya ditentang, tetapi juga
ditumpas. Itulah yang menyebabkan Saddam membumihanguskan kawasan utara yang
didiami Kurdi. Amerika dan koalisinya membuat aturan zona larangan terbang di
langit Irak kawasan ini.
Dibandingkan
dengan etnik-etnik lainnya di dunia, etnik Kurdi suku bangsa terbesar karena jumlahnya
yang mencapai 30 juta jiwa. Mirip seperti nasib bangsa Palestina, akibat
kolonialisme Barat di Timur Tengah, rumpun bangsa Persia yang mendiami daerah
Kurdistan ini terancam hilang dalam sejarah dunia. Karena Palestina berada di
bawah pendudukan Israel maka perhatian dunia Islam relatif sangat besar
dibandingkan dengan suku Kurdi yang hampir sama sekali tidak ada.
Disebabkan oleh
lokasinya yang strategis secara geopolitik dan tersedianya minyak dalam jumlah
besar lengkap dengan jalur-jalur pipanya menuju Eropa dan juga Israel, usaha
bangsa Kurdi untuk menjadi bangsa yang independen semakin sulit terealisasi.
Setiap aktivitas untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penumpasan dan
penindasan. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran
tiga negara yang menguasainya. Tumbangnya Rezim ‘Saddam’ Irak karena invasi
Amerika Serikat, misalnya, berhasil membuka akses politik bangsa Kurdi ini.
Kemerdekaan Kurdi
sebenarnya pernah dijanjikan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson
(1856-1924), melalui perjanjian Sevres (The Treaty of Sevres) tahun 1920 antara
Kekhalifahan Turki Usmani dan sekutu Amerika Serikat untuk membagi-bagi wilayah
bekas kekuasaan Turki Usmani. Hanya saja terbentuknya negara baru Turki di
bawah pimpinan Kemal Attaturk yang meliputi sebagian besar wilayah Kurdistan
telah memupus harapan itu. Sejak itu konflik antara suku Kurdi dan Turki terus
berkembang.
Paska kemerdekaan
Irak tahun 1932, contohnya, bangsa Kurdi malah semakin terisolasi dan
terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu
menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran dan Turki. Karena frustasi akan
semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok
militan Kurdi yang kerap kali melancarkan aksi-aksi terorisme.
Bagi
Negara-negara yang dihuni bangsa Kurdi, misalnya, jalan yang paling mudah untuk
memecah kekuatan bangsa Kurdi dalam menghimpun diri menuju kemerdekaan adalah
dengan menciptakan faksi-faksi dan friksi-friksi di antara mereka yang satu sama
lain saling bermusuhan. Ini karena tidak ada figur pemersatu di kalangan
mereka. Terpecahnya mereka dalam tiga wilayah negara yang berbeda juga telah
membuat suku ini semakin tersegmentasi. Bahkan negara-negara di mana suku Kurdi
berada seringkali mencoba melakukan program asimilasi secara paksa.
Di Irak Utara,
contohnya, terdapat dua kubu yang dipimpin oleh Barzani, The Kurdistan
Democratic Party (KDP) dan oleh Jalal Talabani yaitu The Patriotic Union of
Kurdistan (PUK). Keberadaan suku Kurdi yang non-Arab itu ternyata menjadi
hambatan tersendiri bagi Saddam Hussein dalam menjalankan obsesinya
menggelorakan semangat nasionalisme Arab. Pada tahun 2003 saat invasi AS ke
Irak, daerah basis suku Kurdi di Irak Utara dijadikan sebagai pangkalan militer
Amerika Serikat.
Ternyata,
dukungan Amerika Serikat dan perhatian organisasi-organisasi sosial dunia (LSM)
berhasil menyelamatkan bangsa Kurdi di Irak dari penindasan dan genosida yang
dilakukan Saddam yang sudah berlangsung lama. Setelah bertahun-tahun mengalami
penindasan dan pemusnahan yang dilakukan Saddam tersebut, akhirnya dengan
dukungan Amerika Serikat, Jalal Talabani sendiri terpilih menjadi Presiden
Irak.
Nasib bangsa
Kurdi di Turki juga tidak lebih baik. Mayoritas suku Kurdi memang tinggal di
Turki bagian tenggara dan lebih setengahnya hidup berbaur di ibukota Ankara.
Sebagai keturunan bangsa Persia, suku Kurdi menjadi salah satu hambatan gerakan
nasionalisme dan sekularisme Turki. Meskipun mereka berhasil mendirikan Negara
Darurat Kurdistan di wilayah Turki pada tahun 1922-1924 dan Republik Mahabad
Kurdistan tahun 1946, tetapi mereka segera dapat dihancurkan oleh militer
Turki. Dampaknya sejak tahun 1924 Turki melarang penggunaan bahasa Kurdi di
tempat umum. Operasi militer besar-besaran terus dilakukan untuk menumpas
gerakan pro kemerdeaan yang mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan nyawa.
Kekuatan terbesar
Kurdi di Turki diwakili oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Pada tahun 1991,
ketua PKK Abdullah Oscalan, ditangkap oleh pemerintah Turki dan dijatuhi
hukuman mati. Tekanan Turki ternyata mampu melemahkan tuntutan kemerdekaan yang
memaksa PKK merubah orientasinya pada perjuangan otonomi daerah khusus
Kurdistan. Pada sisi lain, keinginan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa
berdampak pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang berpihak minoritas.
Hanya saja
kebijakan semacam ini sering mendapatkan tantangan besar dari kelompok ultra
nasionalis (sekuler) Turki. Operasi-operasi militer pun kemudian kerap
dilakukan untuk memberangus kekuatan PKK. Apalagi wilayah perbatasan Turki-Irak
memiliki potensi sumber alam yang melimpah (minyak, gas, air bersih dan sumber
mineral) dan menjadi salah satu pusat investasi asing, dan karena itu, maka
membiarkan rakyat Kurdi memerdekakan diri sama saja dengan kehilangan kekayaan
alam bagi Turki